Konsep Ilmu Menurut Imam al-Ghazali

Pribadi al-Ghazali, seperti diceritakan sendiri dalam al- Munqiz menggambarkan kedahagaan untuk mencari kebenaran yang tidak pernah puas. Sifat itu diakuinya, bermula semenjak masa kanak-kanak, sudah menjadi fitrah yang tidak  dapat dielakkan. Kedahagaan yang taak pernah puas ini membawa munculnya suatu wajah baru pada tingkah laku Al-ghazali semenjak ia berumur kira-kira 20 tahun, yaitu keraguan (syak) terhadap kepercayaan yang diwarisinya dari nenek moyang. Tidak jemu-jemunya mengarungi gelombang pertarungan kepercayaan dan pemikiran di zamannya sehingga tidak satupun bidang kepercayaan dan ilmu yang tidak didalaminya untuk mencari kebenaran itu. Beliau mengkaji tentang kebatinan untuk melihat yang tersembunyi disebaliknya, mengkaji segala aliran falsafah yang ada di zamannya, menyelami segala mazhab ilmu kalam yang dapat dijangkaunya, begitu juga dengan segala aliran tasawuf yang pernah didengarnya, malah aliran-aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, disebut zindiq, tidak bebas dari penyelidikannya. Pendeknya, sifat dahaga kepada ilmu disertai dengan sifat syak (ragu) terhadap segala sesuatu yang tidak dapat meyakinkannya itulah sifat Al-Ghazali semanjak kecil, sampai suatu masa dimana dahaga dan ragu itu mencapai puncaknya, yaitu lebih sepuluh tahun sebelum beliau meninggal, ketika beliau sedang mencapai puncak kemasyhurannya sebagai professor di madrasah Nizamiyah di Baghdad. Krisis yang menarik beliau ke arah pangkat dan harta di suatu segi dan ilmu dan akhirat di segi yang lainnya. Akhirnya beliau memilih yang terakhir enam bulan berada dalam kebimbangan.
Ditilik dari segi jalannya peristiwa, dapat kita katakan bahwa persoalan sebenarnya yang membimbangkan Al-Ghazali adalah masalah hakikat (reality). Kebimbangan itu lebih diperbesar lagi oleh perselisihan faham ahli-ahli ilmu di zamannya yang masing-masing mendakwa ialah yang benar. Seperti katanya sendiri bahwa perselisihan manusia di dalam agama , kemudian perselisihan umat dalam berbagai mazhab laksana suatu lautan yang dalam dimana sebahagian besar mansuia tenggelam sedang sedikit sekali yang akan selamat, sedang masing-masing golongan menyangka dia sajalah yang selamat.
Persoalan yang dibahas oleh Al-Ghazali adalah persoalan dasar yang menyangkut tentang wujud manusia. Apa dia hakikat itu? Dimana letaknya? Adakah ia kekal dan azali? Ataukah baru dan fana? Kalau hakikat itu ada bagaimana cara kita mengetahuinya?
Jadi pembahasan tentang ilmu menurut pandangan Al-Ghazali tidak dapat dipisahkan dari pandangan Al-Ghazali tentang hakikat. Sebab ilmu menurut Al-Ghazali adalah jalan menuju hakikat itu. Dengan kata lain agar seseorang sampai kepada hakikat itu haruslah ia tahu atau berilmu tentang hakikat itu.
Ilmu dalam bahasa arab, berasal dari kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui. Jadi ilmu itu adalah masdar atau kata benda abstrak dan kalau dilanjutkan lagi menjadi ‘alim, yaitu orang yang tahu atau subjek, sedang yang menjadi objek ilmu disebut ma’lum, atau yang diketahui. Dalam proses perkembangan ilmu, lalu ilmu dipakai dalam dua hal : yaitu sebagai masdar atau proses pencapaian ilmu dan sebagai objek ilmu (ma’lum). .
Al-Ghazali menggunakan kedua makna ilmu itu dalam tulisan-tulisannya. Tentang ilmu sebagai proses Al-Ghazali menceritakan tentang ilmu-ilmu deria (hissiyah), ilmu-ilmu akal (aqliyah) dan ilmu ladunni. Dengan kata lain ada ilmu-ilmu melalui pancaindera, dan melalui akal, ada yang tidak melalui pancaindera dan akal, tetapi langsung terus ke hati, itulah ladunni atau langsung dari Allah. Tentang ilmu sebagai objek  dapat kita lihat pada kritikan Al-Ghazali terhadap golongan ilmu kalam, golongan batiniyah dan terutama terhadap golongan ahli falsafah.
Kedua bentuk ilmu, sebagai proses dan sebagai objek ini digambarkan Al-ghazali dengan kata-kata: “Ilmu yang ini adalah ilmu dimana yang menjadi objek pengetahuan itu terbuka sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya, dan juga tidak akan mungkin salah atau sesat”. Jadi ilmu yang ini itu tidak saja menjauhkan dari keraguan tetapi juga menghindari segala kemungkinan untuk salah dan sesat.

Referensi :
Langulung, Hasan. 1989. Manusia Dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al Husna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar