Indonesia,
negara yang diberkati dengan keanekaragaman sosio-kultural terbesar di dunia.
Hal tersebut dapat menjadi modal dalam membangun bangsa menjadi bangsa yang
besar dan luhur apabila segenap bangsa Indonesia mampu mengelola perbedaan
tersebut dengan baik. Namun apabila keanekaragaman tersebut tidak dikelola
dengan baik, maka hal ini akan menjadi sumber kehancuran bagi bangsa Indonesia.
Bangsa yang sangat beraneka ragam akan budaya, adat istiadat, agama, suku, ras,
etnis, dan bahasa, sempat mengundang decak kagum negara-negara di dunia
beberapa dasa warsa yang lalu karena di tengah kondisi yang begitu beraneka
ragam, bangsa Indonesia mampu hidup rukun dan bersatu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Namun beberapa
tahun saat ini, semangat persatuan tersebut semakin luntur di tengah kehidupan
bangsa Indonesia dengan semakin maraknya konflik-konflik sosial yang dilatar
belakangi permasalahan suku, etnis dan agama. Tengoklah beberapa tragedi yang
membuat miris hati kita, seperti tragedi di Poso, Ambon, Sampit, Cikeusik, kasus
bentrok lampung yang belum lama ini terjadi yang menewaskan belasan orang dan begitu banyak
kasus-kasus bentrok antar warga serta bentrok
antar pelajar atau mahasiswa. Kasus-kasus tersebut
mengindikasikan semakin ditinggalkannya semangat persatuan di dalam perbedaan
yang dirintis oleh founding fathers NKRI dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.
Dalam rangka
upaya membagkitkan kembali semangat persatuan dan kesatuan, maka perlu upaya
dari berbagai lini kehidupan manusia, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik,
sosial budaya dan agama dan hal ini
bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab semua
komponen masyarakat negeri ini. Ke semua sendi-sendi
kehidupan manusia tersebut harus bersinergi satu sama lain dengan semangat akan
nilai-nilai yang terkandung dalam Bhineka
Tunggal Ika.
Pendidikan misalnya, salah satu konsep
pendidikan yang dapat ditawarkan adalah pendidikan yang berbasis multikultural.
Dalam konsep pendidikan multikultural, maka pendidikan tidak hanya sebgai
lembaga yang hanya mencetak manusia yang memiliki intelektualitas yang mumpuni
namun juga manusia yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam memandang
berbagai perbedaan untuk saling menghargai dan menghormati. Maka dalam
pelaksanaannya, proses pendidikan harus
memperhatikan berbagai perbedaan yang dimiliki oleh para peserta didik, seperti
perbedaan suku, ras, etnis, agama, umur, bakat, minat, dan kecepatan dalam
menyerap informasi. Perbedaa-perbedaan yang ada pada peserta didik tersebut
harus menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah
agar out-put yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan merupakan pribadi-pribadi
yang memiliki sifat humanis, pluralis, dan demokratis sehingga mereka dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menghormati dan menghargai perbedaan
dirinya dengan orang lain.
Dalam kehidupan
beragama, salah satu konsep yang dapat kita terapkan dalam membina kerukunan
hidup berbangsa yakni konsep Agree in
disagreement, setuju dalam ketidaksetujuan atau sepakat dalam perbedaan.
Konsep tersebut merupakan buah pemikiran salah satu pemikir
pembaruan dunia Islam di Indonesia yakni Mukti Ali yang didasari atas ragamnya budaya dan agama di
Inonesia, yang dilandasi pemahaman beliau secara mendalam terhadap teks-teks
keagamaan dan nilai-nilai fundamental agama.
Dalam pandangannya tersebut, beliau mencetuskan
tiga bentuk kerukunan hidup beragama yang biasa kita sebut trilogi kerukunan hidup beragama.
Pertama, kerukunan
antar umat seagama. Dalam satu agama, terdapat banyak kelompok yang
berbeda-beda, misalnya dalam Islam terdapat 4 mazhab besar, di Indonesia
sendiri terdapat Muhammadiyah, NU, Masyumi, dan lain sebagainya. Begitu juga
umat agama non Islam yang memiliki perbedaan di dalam agama mereka. Menurut Mukti
Ali, adanya perbedaan dalam satu agama dapat memicu adanya perselisihan yang
bahkan sering berujung pada perpecahan antarumat seagama apabila perbedaan-perbedaan
tersebut tidak dikelola secara baik.
Kedua, kerukunan
antar umat berbeda agama. Di belahan dunia manapun, konflik agama pernah
terjadi tidak terkecuali di Indonesia. Masih teringat jelas di benak kita akan
ganasnya tragedi Poso dan Ambon yang menjadi sejarah kelam Indonesia dalam
merajut kerukunan antar umat berbeda beragama. Itu adalah fakta apabila
perbedaan agama tidak disikapi dengan saling menghargai dan menghormati maka
akan timbul konflik-konflik semacam itu. Maka sudah suatu kewajiban bagi para
penganut agamanya masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan
damai dengan penganut agama yang lain.
Ketiga, kerukunan
umat beragama dengan pemerintah. Antara umat beragama dengan pemerintah sangat
penting sekali menjalin hubungan yang harmonis, agar para penganut agama
masing-masing dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan mereka dengan perasaan
aman, damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali menyatakan bahwa
negara indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler.
Dengan
menerapkan ketiga hal tersebut, maka akan terciptalah kerukunan antar umat
seagama, antar umat berbeda agama, dan antara umat beragama dengan pemerintah. Apabila
ketiga hal tersebut dijalankan oleh masyarakat Indonesia, maka akan dipastikan
dapat meredam berbagai konflik agama yang mendera bangsa Indonesia. Pada akhirnya,
setiap warga negara dapat menjalankan aktivitas keagamaan mereka dengan
perasaan aman dan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar