Kesadaran Multikultural Dalam Meredakan Konflik Sosial


KESADARAN MULTIKULTURAL : SEBUAH GERAKAN  “INTERSET MINIMALIZATION” DALAM  MEREDAKAN KONFLIK SOSIAL

Oleh : Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah
(Mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakrta)

Ilustrasi Multikultural
Sementara ini masih banyak kalangan yang terdera kesulitan untuk melakukan distingsi antara agama (religion / al-diin)  sebagai sumber berupa wahyu ilahi, dengan pemikiran agama (religion thinking / al-fikr al-diin) yang notebene merupakan hasil olah logika manusia terhadap agama. Kesulitan itu muncul tatkala seseorang atau kelompok harus membedakan posisi agama (dengan segenap doktrinnya) dengan pemikiran agama. Berlandaskan kaidah, agama sebagai way of laife yg wajib diikuti serta diyakini kebenarannya oleh pemeluk agama secara absolute, di sisi lain religion thinking  sebagai hasil pemahaman manusia memiliki kebenaran nisbi (dhanny) yang terus mengalami dinamika, maka harus bias dibedakan mana yg mesti diimani dan dipertahankan mati-matian (dalam terma fiqh dan ushul fiqh disebut al-tsawabit), kapanpun dan dimanapun, dengan manayang perlu pertimbangan ulang untuk dipraktikan pada ruang waktu tertentu (dalam terma fiqih dan ushul fiqih disebut sebagai al-mutaghayyirat). Posisi keduanya terkadang masih jumbuh dan tidak jelas karena berbaur lebur. Padahal posisi ini penting karena sangat rentan dan berdampak fatal jika tidak dilakukan secara tepat. “Doktrin jihad” yang secara gambling tersurat dalam Al-Qur’an misalnya, apabila salah dipahami akan menjadi sangat kontra produktif bahkan fatal. Peristiwa 12 Oktober 2002 barangkali bias menjadi salah satu contoh riil.

Hari itu dunia dihentakan oleh peledakan bom berkekuatan besar di Bali, tepatnya di sebuah kafe di jalan legian. Ledakan dahsyat yang menimbulkan korban jiwa lebih dari dua ratus manusia, sebagian besar adalah warga asing. Pihak kepolisian segera bertindak, dibantu tim ahli dari Interpol dan beberapa Negara, polisi bergegas melacak jejak pelaku pengeboman tersebut. Pengusutan kemudian berujung dengan ditangkapnya beberapa orang. Satu demi satu jaringan komplotan pun tertangkap, dan secara terus terang mereka mengakui sebagai actor peledakan di Jalan Legian itu. Bagi bangsa Indonesia, tragedy kemanusiaan (human tragedy) itu menimbulkan implikasi yang luar biasa. Kurs rupiah anjlok, warga Indonesia di luar negeri kerap terkena razia, nama-nama warga Negara manapun yang menggunakan bahasa Arab dicurigai, serta yang tak kurang memerihkan hati bangsa adalah pelabelan Indonesia sebagai Negara sarang teroris. Citra Indonesia di mata internasional kian terpuruk. Imajinasi yang tercipta di Negara-negara luar, Indonesia adalah Negara rawan dan taka man. Namun yang kemudian cukup menyentak benak banyak pengamat dan praktisi social keagamaan adalah pengakuan para pelaku (yg ternyata pemeluk Islam) bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah bagian dari “jihad”, berperang dengan “kaum kafir” demi membela agama dan tegaknya panji-panji Tuhan di muka bumi, dan untuk semua itu para pelaku percaya betul telah dijanjikan Surga bagi mereka.

Lantas pertanyaan yang menyeruak, benarkah hal tersebut? Bukankah setiap agama menjunjung tinggi perdamaian dan mengklaim sebagai rahmat bagi semesta? Bukankah setiap agama mengajarkan dan menuntun pada persaudaraan antar sesama? Tentu saja jawabnya tidak. Secara normative, tidak satupun agama yang mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan terhadap penganut agama lain. Namun secara historis-faktual, banyak sekali dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia dengan justifikasi agama. Beranjak dari itu, menggagas pemahaman keagamaan yang lebih inklusif, pluralis, dan toleran memang menjadi sebuah keniscayaan, dengan harapan kasus-kasus layaknya konflik social yang menjurus anarkisme atas nama agama dan kepentingan lain yang menyelinap di baliknya, tidak terulang di kemudian hari. Pada titik inilah urgensi wacana pendidikan multicultural. Sebuah wacana yang pada akhirnya bermuara pada  negative interest minimalization, minimalisasi efek negative dari perbuatan kepentingan sehingga tidak menerabas sekat batas hak asasi manusia (HAM).

1 komentar:

Winaro mengatakan...

Toleransi, dialog dan saling penghormatan atas perbedaan merupakan kunci menghindari konflik sosial.