Nasab
Nasab beliau bersambung sampai Rasulullah s.a.w: Hasan Al-Bahr bin Saleh bin Idrus bin Abu Bakar bin Hadi bin Sa’id bin Syeikhon bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi bin Abu Bakar Al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’afar As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Fatimah Az-Zahra bin Rasulillah SAW.
Tempat Kediaman
Beliau lahir di kota Kholi’ Rasyid (Houthoh) tahun 1191H. Ketika berusia 2 tahun, ayah beliau meninggal dunia. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abu Bakar Al-Jufri, di kota di Dzi Isbah.
Guru dan Muridnya
Beliau menuntut ilmu dari sejumlah ulama di zamannya, misalnya Al-Allamah Umar bin Zein bin Smith, Syeikh Abdullah bin Semair, Habib Umar bin Ahmad bin Hassan Al-Haddad dan Habib Alwi bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Syeikh fath beliau dalam (ilmu) dhohir dan batin adalah Habib UMar bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf.
Beliau memiliki murid-murid yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, timur maupun barat. Mereka menyebarluaskan ilmu-ilmu agama dan tasawuf yang telah mereka pelajari dari Habib Hasan. Pernah dikatakan bahawa tidak ada seorang alim, pelajar atau sufi pun di Hadhramaut yang tidak pernah belajar kepada beliau. Di antara murid beliau adalah Sayid Hamid bin Umar bin Muhammad bin Segaf Assegaf dan Sayid Muhsin bin Alwi bin Segaf Assegaf.
Keluasan Ilmunya
Beliau dijuluki Al-Bahr (lautan) karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Ketika mempelajari kitab Mukhtashor At-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syeikh Ali bin Umar bin Qadhi Baktsiir, beliau mengkoreksi beberapa hal yang ditulis oleh gurunya sendiri, padahal usia beliau saat itu masih di bawah 20 tahun.
Sewaktu beliau sedang menunaikan ibadah haji, mufti Zubaid, Al-Allamah Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal meminta beliau untuk menulis sebuah risalah yang menjelaskan sifat-sifat salatnya kaum muqarrabin. Permintaan itu beliau kabulkan, dan ternyata risalah itu membuat kagum para ulama dan kaum sufi di Hijaz dan kota-kota lain.
Habib Ahmad Al-Junaid bercerita bahwa ia dan Habib Hasan berkunjung ke kediaman Sayid Ahmad bin Idris, seorang yang sangat alim. Habib Ahmad Al-Junaid lalu membacakan kitab Ar-Rasyafaat, Sayid Ahmad bin Idris pun kemudian menjelaskan bait demi bait dengan mengutip berbagai ayat Quran dan Hadis Nabi SAW. Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr kemudian membacakan karyanya sendiri, Sholaatul Muqarrabin. Setelah Sholaatul Muqarrabin selesai dibacakan, Sayid Ahmad berkata, “Andaikan penulis risalah ini masih hidup, maka:
Yahiqqu an tudhraba alaihi akbaad ul-ibili
Sepatutnya perut onta dicambuk agar segera dapat menjumpainya.
“Waktu itu aku hendak memberitahu mereka, bahwa penulis risalah itu adalah orang yang baru saja membacanya. Namun, Habib Hasan mencegahku,” kata Habib Ahmad Al-Junaid.
“Mungkin penulisnya hanya sekedar menyifatkan, tidak sungguh-sungguh mengalami apa yang ditulisnya,” kata salah seorang murid Sayid Ahmad bin Idris.
“Diamlah engkau”
Al-inaa’u yarshahu bima fihi
Wadah (hanya) akan memercikkan isinya, kata Sayid Ahmad bin Idris.
Mujahadahnya
Habib Hasan selalu berpegang teguh pada sunah Nabi, dan berusaha meniti jejak para salafnya. Beliau mengamalkan berbagai salat sunah: salat sunah rawatib maupun salat sunah lainnya. MUlai dari salat khusuf dan kusuf sampai dengan salat tahiyyatul mesjid. Mulai dari salat sunnatul wudhu, dhuha 8 rakaat, awwabiin 20 rakaat, tahajjud di sebagian besar waktu malam sampai dengan salat witir 11 rakaat di akhir malam. Semua ini beliau kerjakan dengan tekun: siang maupun malam, saat berada di kota maupun ketika bepergian, saat sehat maupun sakit. Sakit tidak pernah mengendurkan semangat ibadah beliau. Apabila tiba saat ibadah, beliau seakan sembuh dari sakitnya. Namun, begitu ibadah selesai dikerjakannya, beliau tampak lemah kembali. Beliau selalu mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.
Beliau biasanya membaca setengah Al-Quran dalam salat tahajjudnya setiap malam. Kadang kla seluruh Quran beliau khatamkan dalam satu rakaat. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan puasa Dawud, baik pada waktu musim panas maupun dingin, saat berada di kota maupun saat bepergian, ketika sehat maupun sakit. Beliau sering sekali membaca surah Yasin sebanyak 40 kali dalam satu majelis, dan dalam satu atau dua rakaat. Di antara wirid beliau adalah membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 90 000 kali dalam satu rakaat.
Beliau menunaikan ibadah haji lebih dari 7 kali. Beliau sangat sering tawaf di tengah kegelapan malam sambil membaca Quran sampai waktu fajar, terkadang beliau mengkhatamkannya dalam semalaman.
Pada waktu dhuha, hari Rabu 23 Dzul Qa’dah 1273H beliau meninggal dunia di Dzi Isbah, lalu dimakamkan dekat makam ibunya, di tengah-tengah musholla yang terletak di samping rumahnya.
Sifat Rahmatnya
Berikut adalah sekelumit cerita yang menunjukkan keluhuran budi dan kasih sayang beliau pada makhluk Allah.
Cerita Pertama
Suatu hari seorang warga kampungnya melapor kepada beliau, bahwa seekor anjing telah membuat onar. Anjing itu memakan haiwan-haiwan kecil piaraan mereka. Mendengar pengaduan itu beliau berkata, “Anjing itu bertingkah demikian karena kalian menelantarkan dan tidak memberinya makan. Kemarikan anjing itu, lalu berilah makan hingga kenyang.”
Warga kampung kemudian membawa anjing itu ke rumah Habib Hasan. Mereka menempatkan anjing itu di dalam kandang dan memberinya makan siang dan malam. Habib Hasan menaruh perhatian besar pada anjing itu, dan setiap hari selalu menanyakan keadaannya kepada pembantu beliau.
Cerita Kedua
Seusai salat Jumat di sebuah mesjid di kota Syibam, tiba-tiba seekor burung yang masih kecil terjatuh ke lantai dari sarangnya di atap mesjid. Melihat anaknya jatuh, induk burung itu menjerit-jerit. Keadaan itu begitu mengharukan Habib Hasan sehingga beliau tak kuasa membendung air matanya. Dengan pipi yang basah oleh air mata, Habib Hasan meminta agar jamaah yang sedang berada di mesjid untuk keluar guna memberi kesempatan kepada si induk agar dapat dengan leluasa membawa anaknya kembali ke sarangnya.
Cerita Ketiga
Pada hari pernikahan salah seorang puterinya, sebagaimana adat di daerah itu, warga kampungnya mempersiapkan berbagai jenis makanan dan daging untuk makan malam rombongan besan. Ketika mereka sedang menanti kedatangan rombongan pengantin, Habib Hasan melongok ke luar jendela. Di bawah loteng rumahnya beliau melihat kerumunan orang.
“Siapa yang berkerumun di depan pintu,” tanya Habib Hasan penasaran.
“Mereka adalah kaum fakir yang menantikan sisa-sia makan malam,” jawab salah seorang di antara mereka.
Beliau lalu segera memerintahkan untuk mengundang dan menjamu kaum fakir miskin itu. Beliau diingatkan bahwa makanan itu dipersiapkan untuk rombongan pengantin, dan mereka tak bisa menyiapkan gantinya karena waktu yang sangat sempit. Namun beliau berkata, “Tak apa-apa, hidangkanlah makanan itu”.
Mereka tak bisa menolak permintaan Habib Hasan. Makanan yang semula dipersiapkan untuk menyambut rombongan pengantin, akhirnya diberikan kepada kaum fakir miskin.
Mutiara nasihatnya
Sesungguhnya di syurga tidak ada penyesalan, hanya saja mereka merasa malu atas kemuliaan dan kebaikan yang diberikan oleh Allah. Jika dibanding dengan nimat yang mereka terima di syurga, maka kelelahan mereka semasa di dunia tiada artinya.
Kenikmatan yang disegerakan, kebaikan yang diangan-angankan dan kehidupan yang baik hanya terdapat dalam ketaatan kepada Allah.
Jika engkau tak bisa beramal dengan anggota tubuhmu, misalnya: salat-salat sunah dan lain-lain, maka engkau masih bisa mengerjakan ketaatan lisan, seperti: dzikir, amar ma’aruf dan nahi mungkar. Dan jika engku tak bisa melakukan ketaatan lisan, maka engkau masih bisa mengerjakan ketaatan hati, misalnya: ikhlas, sabar, zuhud, redha, cinta, syukur dan lain-lain.
Sumber : Salatnya Para Wali oleh Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr Al-Jufri terbitan Putera Riyadi
0 komentar:
Posting Komentar