Sahabat Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga dari Khulafaur Rasyidin pada waktu ia berumur 70 tahun. Dengan resminya Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah, ini berarti suatu kemenangan Utsman (Bani Umayyah) atas Ali (Bani Hasyim). Ini berarti pula bahwa keinginan Ali untuk menjadi khalifah yang ia nyatakan sendiri pada waktu Nabi saw wafat, belum juga menjadi kenyataan. Ada dua faktor yang mendasari penyerahan jabatan khalifah kepada Utsman, yaitu:
1. Lebih besar kemungkinannya untuk menarik kembali jabatan khalifah nanti dari Bani Umayyah dari pada Bani Hasyim.
2. Sebagian terbesar kaum muslimin tidak ingin menyerahkan jabatan khalifah kepada Ali karena mereka berpendapat bahwa Ali akan melanjutkan pola dan cara pemerintahan Umar ibnul Khattab yang radikal, keras dan disiplin. Mereka memilih Utsman karena dipandang lunak, pemurah dan toleran.
Awal pemerintahan Utsman diwarnai dengan suasana yang kurang kondusif. Masyarakat terpecah menjadi dua kelompok, pendukung Ali yang kurang mendukung kepemimpinan Usman dan pendukung Utsman yang mendukung kepemimpinannya. Mereka mendukung Utsman bukan karena memberi penghargaan kepadanya, melainkan karena ingin menyalurkan kepentingan-kepentingan perseorangan. Utsman berasal dari Bani Umayyah, banyak dari keluarga ini yang berkedudukan tinggi dalam kehidupan Bangsa Arab sebelum dan sesudah Islam.
Pergantian Umar oleh Utsman dapat diartikan pergantian ketegasan dan kewibawaan dengan kelonggaran, kelunakan dan sikap ragu-ragu. Akibatnya banyak kaum muslimin yang meninggalkan Utsman, yang berarti hilangnya kawan-kawan dan orang-orang tempat ia menumpahkan kepercayaan, kecuali kaum kerabatnya. Kesetiaan para pejabat kepada Utsman banyak berkurang, sehingga sedikit sekali orang yang dapat dijamin kesetiaannya, kecuali dari kerabatnya sendiri. Oleh karena itu, banyak pejabat yang dipecat dan diganti oleh sanak kerabatnya. Pada saat itulah oleh lawan-lawan politiknya, menuduhnya melakukan nepotisme (system family).
Dalam manajemen pemerintahannya, Utsman memang menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
- Alharits ibn Alhakam, saudara sepupu Utsman, putera dari Alhkam ibn Ash, ditunjuk mengepalaiurusan pasar Madinah dan lantas bertindak memungut sepersepuluh (10%) dari setiap apapun yang terjual dan menumpuk hasil pemungutan itu untuk dirinya
- Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
- Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
- Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’ad ibn ‘Ash. Sa’ad sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
- Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
- Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
- Khalifah Utsman dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
- Khalifah Utsman juga dituduh mengeluarkan uang dari Baitul Mal sejumlah 100.000 Dirham dan menganugerahkannya kepada pamannya Alhakam ibn Ash.Begitu juga saat Khalifah Utsman menyerahkan uang sejumlah 300.000 Dirham kepada Abdullah ibn Khalid, yang merupakan keponakan Utsman.
Banyak diantara saudara Khalifah Utsman tersebut yang kehidupannya mempunyai cacat pada masa lalunnya. Seperti Walid bin Uqbah, sejarah hidupnya punya cacat pada masa Rasulullah SAW. Begitu juga dengan Abdullah ibn Saad ibn Abu Sarah, yang pada masa Nabi
Muhammad pernah murtad dan melontarkan caci maki terhadap Nabi Muhammad dan termasuk seorang di antara yang mesti dijatuhi hukuman mati pada mas penaklukan Mekkah tapi kemudian diampuni kembali atas permohonan Utsman ibn Affan.
.
PEMERINTAHAN UTSMAN TIDAK NEPOTIS
Perluasan Islam pada masa Khalifah Utsman bisa dikatakan meliputi semua daerah yang telah dicapai balatentara Islam di masa Khalifah Umar. Perluasan ini pada masa Utsman telah bertambah dengan perluasan ke laut. Kaum Muslimin telah memiliki angkatan laut.
Di masa Utsman, negeri-negeri Barqah, Tripoli Barat dan bagian selatan negeri Ngubah telah masuk dalam wilayah Negara Islam.Kemudian negeri-negeri Armenia dan beberapa bagian Thabaristan, bahkan kemajuan tentara Islam telah melampaui Sungai Jihun (Amu Daria). Jadi daerah “Mawaraan Nahri” (negeri-negeri seberang Sungai Jihun) telah masuk wilayah Negara Islam. Negeri-negeri Baikh (Baktria) Harah, Kabul dan Ghaznah di Turkistan telah diduduki kaum Muslimin. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan. Dengan menggunakan angkatan laut yang dipimpin oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan tahun 28 H, Pulau Cyprus dapat pula dimasukkan ke dalam wilayah Islam.
Menurut Muhibbin al Thabari di dalam karyanya, Riyadh Al-Nadharat fi Manaqib Al-Asyarat (Taman Semerbak tentang Keistimewaan 10 Tokoh) yang dikuti oleh Yoesoef Sou’yb dalam bukunya Sejarah Daulah Khulafaurrasyidin melakukan tangkisan atas satu persatu tuduhan itu sebagai berikut:
Tentang pemberhentian dan pengangkatan seseorang pejabat wilayah maupun jabatan-jabatan lainnya adalah hak dan wewenang setiap Khalif dan tidak ada ketentuan di dalam syari’at Islam bahwa tidak boleh mengangkat keluarga sendiri.
Tentang pengangkatan pejabat-pejabat daerah yang sejarah hidupnya mempunyai cacat pada masa Nabi Muhammad, maka sepanjang kenyataan bahwa mereka itu telah bertaubat kembali pada masa Nabi itu, dan bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar dan Pada masa Khalifah Umar ibn Khattab telah memperlihatkan jasanya pada berbagai medan pertermpuran bagi kepentingan Islam, baik menghadapi kaum Riddat maupun menghadapi imperium Roma dan imperium Parsi. Lantas apakah tidak layak, bahwa mereka itu diberi kesempatan untuk memperlihatkan jasa sendiri dibawah pimpinan sendiri.
Tentang Alharits ibn Alhakam diangkat mengepalai urusan pasar di Madinah dan melakukan pemungutan 10% dari setiap apapun yang terjual, maka hal itu memang suatu kenyataan. Sewaktu hal itu disampaikan kepada Khalifah Utsman, maka sepanjang kenyataan, Utsman memecat Alharits dari jabatannya itu. Kenyataan ini tidak disebut-sebut di dalam desas desus yang disebarluaskan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat publik. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab, yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash,
kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan. Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negatif.
Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun. Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah Bin sa’ad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal. Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Marwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya. Belum lagi jika harus mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam.
Desas – desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka untuk menyudutkan Utsman. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.
Di samping itu, apakah benar Utsman tidak mengangkat orang-orang lain di luar Bani Umayyah pada jabatan-jabatan penting? Nyatanya Utsman juga mengangkat orang-orang lain di luar Bani Umayyah, misalnya Zaid ibn Tsabit menjadi kepala Baitul Mal.
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”
Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”
Secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas. Lantas mengapa kita harus mempercayai isu nepotisme tersebut?
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Faisal. 1984. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Bina Usaha
Pokja Akademik, 2005. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga
Syalabi, Ahmad. Sejarah & Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru
Sou’yb, Yoesoef. 1979. Sejarah Daulat Khulafaurrasyidin. Jakarta: Bulan Bintang
1 komentar:
Terima kasih informasinya
Posting Komentar