SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA



Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Bersambung


Read more..

Al Habib Alwi bin Ali Al Habsyi


Betapa sedihnya Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Pemuda berusia 22 tahun itu ditinggal mati ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al- Habsyi, Sohibul Simtud Duror, pada tahun 13331 H / 1913 M. kota Seiyun, Hadramaut, yaman, itu terasa asing bagi ayah satu anak ini, Habib Alwi adalah anak bungsu, paling disayang Habib Ali. Begitu juga, Habib Alwi pun begitu menyayangi ayahnya, sehingga dirinya bagaikan layangan yang putus benangnya.

Hababah Khodijah, kakak sulungnya, yang terpaut 20 tahun, merasakan kesedihan adiknya yang telah diasuhnya sejak kecil. Daripada hidup resah dan gelisah, oleh putrid Habib Ali Al-Habsyi, Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain, Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.
Habib Alwi pergi ke Jawa ditemani Salmin Douman, antri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.

Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.

Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.

Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.

Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib Syamsisy Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.

Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat tyersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dinia, yaitu ruang antara kamar Nabi saw dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghdap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.

Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya dikinjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.

Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.

Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. "Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.

Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib tayfiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.

Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.

Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.

"Sebetulnya waktu itu Habib Anis belum siap untuk menggantikan peran ayahnya. Tetapi karena menjunjung amanah, wasiat itu diterimanya. Jadi dia adalah anak muda yang berpakaian tua." Tutur Habib Ali Al-Habsyi, adik Habib Anis dari lain ibu.

Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian, abun dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah swt bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.

Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo.
Ada peristiwa unik yang mungkin baru pertama kali di Indonesia, bahkan di Dunia. Para kerabat dan Kru pesawat terbang AURI membacakan Tahlil di udara.

Masalah lain timbul lagi. Pada tahun itu, sulit mendapatkan izin memakamkan seseorang di lahan pribadi, seperti halaman Masjid Riyadh. Namun berkat kegigihan Yuslam Badres, yang kala itu menjadi anggota DPRD kota Solo, izin pun bisa didapat, khusus dari gubernur Jawa tengah, sehingga jenazah Habib Alwi dikubur di selatan Masjid Riyadh.

Makamnya sekarang banyak di ziarahi para Habib dan Mihibbin yang datang dari berbagai kota. Beliau dikenang serbagai ulama yang penuh teladan, tangannya tidak lepas dari tasbih, juga dikenal sangat menghormati tamu yang datang kepadanya. Habib Alwi pin tidak pernah disusahkan oleh harta benda. Meski tidak kaya, ketika mengadakan acara haul atau Maulidan, ada saja uang yang didapatnya. Allah swt telah mencukupi rezekinya dari tempat yang tidak terduga.

Sumber : Majalah Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006
Read more..

Habib Muhammad Syahab (Majelis Al-Anwar)


Beliau seorang da’i Ilalloh Alhabib Muhammad bin Taufiq bin Muhammad bin Syekh bin Muhammad bin Syekh bin Abdulloh bin Husein bin Abdulloh bin Husein bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Syihabuddin Al Asgor bin Abdurrohman Al Godhi bin Ahmad Syihabuddin Al Akbar bin Abdurrohman bin Ali bin Abi Bakar As Sakron bin Abdurrohman As Seqoff bin Muhammad Maula Ad Dawilah bin Ali bin Alwi Al Guyur bin Alfaqihil Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohibi Marbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al Imam Al Muhajir ilallah Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad AnNaqib bin Ali Al’Uroidi bin Ja’far As Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husein As Sibt bin Ali bin Abi Tholib wabni Fatimah Az Zahro’ binti Sayyidina Muhammadin Khotamin Nabiyyin Washollallohu Wasallama Wabaraka ‘Alaihi Wa’alaihim Ajma’in…


Dilahirkan di kota Palembang dari keluarga yang sederhana 11 Januari 1978 hari jumat. Alhamdulillah dengan izin Allah SWT beliau menuntut ilmu di pondok pesantren Atsaqofah Al-Islamiyyah pimpinan Al’Alim Al’allamah Ad Da’iyyah ilalloh Al Habib Abdurohman bin Ahmad bin Abdulqodir Asseqaf, Bukit duri Jakarta Selatan.

Dalam menuntut ilmu Alhabib Muhammad mendapat bimbingan langsung dari sang guru mulia sehingga mendapatkan bekal ilmu agama. Setelah 10 tahun menuntut ilmu di Atsaqofah Islamiyyah oleh Sang Guru Mulia di izinkan untuk melanjutkan menuntut ilmu ke Yaman Hadramaut tepatnya di kota Tarim di Pondok Pesantren Daarul Musthofa pimpinan Al’alim Al’allamah Ad Da’iyyah ilalloh Al Habib Umar bin Muhammad bin salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim.

Selama di Hadramaut Tarim, Alhabib Muhammad juga mengambil ilmu dari para guru yang ada di kota Tarim, antara lain : ‘Aynut Tarim Alhabib Abdulloh bin Muhammad bin Alwi bin Syahab, Alhabib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim dan beberapa habaib serta masayikh lainnya



Selain itu beliau juga banyak mendapatkan Ijazah dan Talbiis dari guru-gurunya, antara lain : Al’Alim Al’Allamah Ad Da’iyyah Ilalloh Alhabib Abdurrohman bin Ahmad Assegaf dan Al’Alim Al’Allamah Ad Da’iyyah Ilalloh Alhabib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim dan Al’Alim Al’Allamah Ad Da’iyyah Ilalloh Alhabib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim dan ‘Aynut Tarim Alhabib Abdulloh bin Muhammad bin Alwi bin Abdulloh bin Idrus bin Syahab dan para habaib serta masayikh lainnya. Setelah menyelesaikan pendidikan selama 4 tahun menuntut ilmu dengan para guru di Tarim Alhabib Muhammad kembali ke Indonesia untuk berdakwah dengan niat sholihah menyebarkan Ilmu yang di dapat selama menuntut ilmu dengan harapan mendapat keridhoan Allah SWT dan Keridhoan Nabi besar Muhammad SAW.

Semoga ilmu yang didapatkan bermanfaat di dunia dan akhirat. Amin…

Read more..

Habib Umar bin Hafidz




Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh. Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.

Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.


Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.


Read more..

Al-Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-habsyi








Tokoh ulama yang khumul lagi wara`, pemuka dan sesepuh habaib yang dihormati, Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi rahimahumullah telah kembali menemui Allah s.w.t. pada tanggal 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006 dalam usia kira-kira 78 tahun. Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi s.a.w. Beliau menjalankan dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis mawlid, dalam rangka menumbuhkan mahabbah umat kepada Junjungan Nabi s.a.w. Selain berdakwah keliling kota, sehingga muridnya menjangkau puluhan ribu orang di merata-rata tempat. beliau memusatkan kegiatan dakwah dan ta’limnya di masjid yang didirikan oleh ayahanda beliau, al-Habib Alwi bin ‘Ali al-Habsyi, yang dikenali sebagai Masjid ar-Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon, Solo (Surakarta), Jawa Tengah.

Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari, iaitu khatam pengajian kitab “Jami` ash-Shohih” tersebut. Setiap malam Jumaat pula diadakan majlis mawlid dengan pembacaan kitab mawlid “Simthuth Durar” karya nenda beliau yang mulia al-Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam Jumaat Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan Pengajian Legian, di mana mawlid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah disampaikan kepada umat.

Peringatan mawlid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah - tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa.

Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau sentiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi rhm. Sungguh kemuliaannya bukanlah semata-mata faktor keturunannya yang umpama bintang bergemerlapan, tapi juga kerana ilmunya, taqwanya, waraknya dan akhlaknya yang mencontohi akhlak para leluhurnya terdahulu. Para leluhurnya yang terkenal dengan ketinggian akhlak mereka sehingga telah menawan hati segala rumpun Melayu rantau sini untuk memeluk agama Islam yang mulia.

Sedih dan pilu rasa hati, seorang demi seorang ulama kita kembali ke hadhrat Ilahi. Khuatir kita jika tiada pengganti mereka, yang meneruskan usaha mereka untuk menyeru kepada Allah dan rasulNya. Bermohon kita kepada Allah dengan sebenar-benar dan setulus-tulus permohonan, agar yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Kita sentiasa memerlukan bimbingan berkesinambungan daripada para ulama dan daie yang mukhlisin lagi berakhlak mulia, agar kejahilan dan keruntuhan akhlak tidak berleluasa. Hari ini selesailah permakaman beliau di Kota Solo di kompleks makam Masjid ar-Riyadh di sisi ayahandanya al-Habib Alwi bin Ali al-Habsyi. Kami ucapkan selamat jalan kepada Habib yang dikasihi. Mudah-mudahan musibah ketidaksampaian kami menziarahinya sebelum kewafatannya diberi ganjaran oleh Allah dengan kesudianNya menghimpunkan kami besertanya di syurga penuh keni’matan di samping nendanya yang mulia Junjungan Nabi s.a.w.


Selamat jalan, ya Habibana

Kuharap nanti di sana kita kan bisa kumpul kembali

Di tempat lebih santai, lebih nyaman, lebih mulia

Berbanding dunia yang penuh pancaroba

Ya Habibana,

Kepergianmu menyayat hati setiap muhibbin merasa

Kepergianmu dalam suasana kami masih perlukan bapa

Yang nasihatnya menusuk sanubari dan masuk kepala

Tapi tiada siapa dapat menolak ketentuan Yang Maha Esa

Ya Habibana

Musibah ini kami terima dengan redha

Semoga musibah kami atas kehilanganmu diberi pahala

Diberi ganjaran apa yang kami damba

Berkumpul bersamamu di Jannatul Firdaus al-A’la

Bi jiwari an-Nabiyyil Mukhtar al- Musthofa

Ya Habibana,

Kepergianmu kami iringi doa

Agar kasih sayang Allah buatmu sepanjang masa

Dicurahkan persemayamanmu hujan rahmat tiap ketika

Ditinggikan darjat serta diberi sinar cahaya

Kesunyianmu dihilangkan dan kebajikanmu diganda

Bagi kami dan bagimu perlindungan Allah sentiasa

Diselubungi kedamaian penjagaanNya yang sempurna

Selamat jalan, ya Habibana

Damailah dikau di sana

Jangan lupakan kami para muhibbin yang masih di dunia

Doakan agar kami menuruti ajaran nendamu yang mulia

Biar kami mati membawa iman, ketaatan dan kasih cinta

Pada Allah, pada Rasul, pada sholihin, pada agama

Selamat jalan, ya Habibana

Kepergianmu kuiringkan doa

-------------------------------------------------------------------------------------


Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.

Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.

Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.

Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.

Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.

Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.

Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.

Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.

Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.

Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.

Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.

Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.

Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”

Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.

Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.

Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.

Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.

Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……

Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”

Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”

-------------------------------------------------------------------------------------

Berkata dan berpesan Al-Allamah Al-Habib M.Anis bin Alwi bin Ali (sohibul mawlid Simtud Duror) bin Muhammad Al-Habsyi kepada murid merangkap cucu menantunya, Habib Novel bin Muhammad Al-Aidrus, :

“Dulu waktu mengaji, setiap saya menanyakan suatu masalah kepada guru saya, jawabannya juga selalu ‘Cari di kitab ini,cari di kitab itu.’ Ketahuilah wahai Novel, tidak disebut orang alim kalau setiap mendapat pertanyaan ia selalu menjawab ‘Menurut saya begini begini……………,’ tetapi orang alim adalah orang yang mampu menjawab suatu permasalahan dengan menukil pendapat para ulama’ salaf lengkap dengan kitab rujukannya…”
Read more..

Anak Sakti Yg Sombong Kpd Ibu Bapaknya

Ada seorang anak yang sangat amat sakti,sebut saja namanya Jaka...tapi bukan Jakarimba Loh...hehehe. Jaka mampu terbang, menghilang dlsbg tapi dia sombong kepada ibu dan bapaknya.jaka mengatakan kalau ibu dan bapaknya orang yang lemah,ga hebat sperti dirnya.jaka masih merasa ingin menambah kehebatannya,akhirnya dia terbang ke Matahari dan Jaka berkata, "Matahari,kau benar2 hebat sekali, kau mampu menyinari/menerangi bumi,tolong jadikan aku muridmu agar aku hebat seperti kau",Matahari menjawab "Aku pun masih kalah",.. "kalah sama siapa" tanya jaka.."aku pun masih kalah sama awan,coba kau lihat,saat awan menghiasi langit maka sinarku tak tembus ke bumi" jawab matahari...akhirnya Jaka datang ke awan dan berkata "Awan,kau benar2 hebat sekali,kau mampu mengalahkan matahari,sinar matahari tak mampu menembus kau,tolong jadikan aku muridmu agar aku hebat seperti kau"..."Aku pun masih kalah" jawab Awan..."kalah sama siapa" tanya jaka..."aku pun masih kalah sama Angin,coba kau lihat,saat aku ingin ke selatan tapi karena angin ke utara,aku jadi ke utara.saat aku ingin ke utara tapi karena angin ke selatan,aku jadi ke selatan" jawab Awan...

Akhirnya jaka datang ke Angin dan berkata "Angin,kau sungguh luar biasa,kau mampu mengalahkan matahari dan awan.jadikan aku muridmu agar aku hebat seperti kamu"...Angin menjawab "Aku pun masih kalah"..."kalah sama siapa" tanya jaka..."Aku pun masih kalah sama gunung, coba kau lihat,saat aku ingin ke utara tapi karena ada gunung, aku jadi ga bisa tembus ke utara" jawab Angin...jaka terus pergi ke gunung dan mengatakan maksudnya seperti di atas...tapi gunung menjawab "aku pun masih kalah"..."kalah sama siapa" tanya jaka..."Aku pun masih kalah sama tikus,coba kau lihat kakiku,kakiku banyak yang berlubang karena digerogoti tikus untuk membuat rumahnya....jaka akhiranya datang ke tikus dan berkata,"tikus,kau memang tiada duanya,kau hewan kecil tapi mampu mengalahkan matahari,awan,angin dan gunung.Kus,tolong jadikan muridmu,aku ingin hebat seperti kamu"...tapi tikus menjawab, "Aku pun masih kalah"..."HAH,kalah sama siapa Kus?"...Tikus menjawab, "masa kamu ga tahu? Cape Deeecch...coba kau lihat,setiap aku ketemu kucing,aku selalu dikejar-kejar kucing..jadi aku masih kalah sama kucing"..."ooowwwhhhh" jaka dengan ekspresi wajah melongo....

Terus jaka pergi ke Kucing dan berkata, "Cing,kau memang yang paling hebat,kau telah mengalahkan matahari,awan,angin,gunung dan tikus.tolong jangan tolak aku untuk jadi muridmu,aku juga ingin hebat seperti kau"...Kucing menjawab,"Aku pun masih kalah"..."Buzzzeeetttt,masih kalah sama siapa" tanya jaka..."Aku pun masih kalah sama orang-orang itu tuh,dua orang yang sedang menghangatkan badan di samping api unggun,hampir setiap hari aku dikejar-kejar orang itu karena aku mencuri ikannya" jawab Kucing...akhiranya dengan semangat sekali jaka datang ke kedua orang itu untuk berguru, setelah di datangi TERNYATA kedua orang itu adalah BAPAK DAN IBUNYA.......Sebesar apapun jasa kita kepada ibu,bahkan kalau kita mampu mempersembahkan dunia untuk ibu,itu tak akan mampu membalas setetes darahpun yang ibu keluarkan saat melahirkan kita.
Read more..

Pendakian Gunung Merbabu



Pada tanggal 1 Maret 2010 kami bertiga, saya, Fredi (Si He) dan Aziz berangkat dari Stasiun Tegal pukul 17.00 WIB menggunakan Kereta Kaligung Ekonomi menuju Semarang dengan biaya @ Rp 15.000. Sampai di Stasiun Poncol Semarang pukul 20.00 WIB dan kami langsung dijemput 2 orang teman kami yaitu Dhimas (Mbee) dan Rizqi dengan menggunakan mobil menuju ke kos-kosan mereka di Tembalang sekitar kampus Undip karena mereka berdua kuliah di Undip.

Awalnya kami berencana berangkat ke Merbabu besok dengan menggunakan angkutan karena dengan berbagai pertimbangan kami langsung berangkat malam itu juga dengan menggunakan motor agar lebih hemat biaya dan waktu,jadi sesampainya di kos-kosan kami langsung packing dan langsung menghubungi teman kami yang di Jogja bahwa kami akan langsung ke Merbabu malam ini juga.

Pada pukul 00.00 kami berangkat (aku,Fredi,Aziz, Dhimas dan Pongky) menuju Magelang. Saat kami tiba di Salatiga sekitar pukul 01.30 salah satu motor teman kami ada yang bocor,untungnya di sekitar itu ada tambal ban.Selesai tambal ban kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Magelang,sesampainya di Pertigaan Pasar Sapi pukul 04.30 kami istirahat di depan toserba Indomaret untuk menunggu teman kami dari Jogja yang juga menggunkan motor dan tepat pukul 04.00 teman kami yang dari Jogja yaitu Ryan Hermawan, Bahrun, Dan Helmy tiba menghampiri kami dan kami melanjutkan perjalanan menuju Gunung Merbabu.

Salah satu dari kami hanya satu yang pernah mendaki Merbabu yaitu Aziz,jadi bisa dikatakan yang memimpin pendakian adalah Aziz. Tapi di tengah perjalanan si Azizi lupa jalan untuk menuju jalur pendakian Tekelan. akhirnya kami terus mencari jalur pendakian dan akhirnya kami menemukan jalur pendakian yaitu Kedakan,jalur pendakian yang kurang dikenal.

Pukul 07.00 kami tiba di rumah juru kunci dan kami langsung packing dengan mempersiapkan berbagai bahan yang kurang.Sekitar pukul 08.00 kami mulai mendaki. ternyata jalur yang kami dapatkan ini jalur yang begitu terjal dan dari kami tidak satupun yang taju akan jalur itu.

baru sekitar 1 km perjalanan ada 2 teman kami yang tenaganya ngedrop yaitu Dhimas dan Helmy karena mereka memang baru pernah merasakan pendakian. Tetapi kami tentunya selalu memberi semangat kepada mereka berdua agar tetap semangat ditengah kondisi tenaga mereka yang ngos-ngosan...hehehehe (sory bro, bukannya ngledek, tapi emang begitulah).

Sekitar pukul 13.30 kami tiba di Pos II. Pos ini berupa tanah lapang yang cukup luas dan sangat amat nyaman untuk ngecamp. Akhirnya kami memutuskan untuk ngecamp di situ karena dengan pertimbangan ada teman kami yang begitu kelelahan dan juga karena gerimis yang tak kunjung reda.Akhirnya kami bermalam di Pos II. Selsesai Maghrib kami semua langsung tidur.

Pada pukul 22.00 saya terbangun karena kondisi tenda yang tidak nyaman karena tenda terbebani dengan jumlah yang maksimal. Saya bangun membuat minuman kopi untuk menghangatkan badan di tengah cuaca yang sangat amat dingin. Mendengar suara brisik saya membuat minuman,akhirnya teman-teman pun ikut terbangun dan aku langsung membuat api unggun. sampai pukul 23.30 kayu hampir habis dan aku mengajak salah satu teman untuk menemani mencari kayu tapi dia tidak tahu, katanya "Terima kasih War, gak lah,kamu ajah sendirian", aku dalam hati "terima kasih Ndasmu"...hehehehe. Akhirnya aku mencari kayu sendirian.

Sampai jam 02.00 kami mulai tidur semua dan kami mulai terbangun pukul 05.00. Setelah selsesai pada shalat kami membuat sarapan dan packing untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak.dengan pertimbangan agar tenaga kami hemat akhirnya kami putuskan tas yang dibawa ke puncak hanya satu dan berisi logistik serta jas hujan dan beberapa pakaian,selebihnya ditinggal di Pos II,tentunya diletakkan di tengah-tengah semak belukar agar tidak ketahuan orang lain.Pada pukul 08.00 kami mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Pada pukul 10.00 kami tiba di Pos III yang ada kawahnya. di Pos III teman-teman memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak karena beberapa dari teman kami esoknya akan kuliah, sebenarnya saya sangat amat menyesalkan ini tapi saya pun tidak bisa memaksa mereka cz ini sudah menyangkut kuliah mereka.Akhirnya di Pos III kami makan dan setelah itu memuaskan untuk foto-foto. 

Sekitar pukul 11.00 kami mulai perjalanan turun. setelah kami baru melewati Pos III, hujan mulai turun dan kabut menyelimuti kami dengan jarak pandang hanya sekitar 50 m.Hujan terus mengiringi perjalanan turun kami sampai di rumah juru kunci. Sampai di rumah juru kunci pukul 13.30. Saat kami sedang istirahat, si Fredi cerita kalau tadi malam di melihat Kuntilanak, wah..pantesan saat diajak saya untuk mencari kayu dia tidak mau.

Read more..
VISITS
free counter

RENUNGKAN

Andaikan hidupmu kau gunakan hanya untuk menghiasi dan mendandani RAGAmu saja, sedangkan kau tak menghiasi HATImu dengan AKHLAK, maka hakikatnya hidupmu hanya untuk memberi makan ulat dan cacing yang akan memangsamu kelak di LIANG LAHAT…….Tausiyah AL-Habib Umar bin Hafidz

harunyahya.tv

harunyahya.tv
Samudra kedahsyatan rahasia penciptaan Allah Ta'ala, oleh HARUN YAHYA setetes dari samudra rahasia penciptaan Allah terungkap dalam video dokumenter.
.

Kemanakah perubahan Bumi tercinta kita ini, ke arah yang lebih indahkah untuk anak cucu kita kelak, ataukah sebaliknya. KITALAH YANG MENENTUKAN SAAT INI

Hijaukan bumi kita untuk keteduhan dan keindahan alam hidup anak cucu kita kelak

News