Al Habib Ali Ridha bin Musa Al Kadhim

Beliau dikenali sebagai salah seorang pernuka dan ulama Ahlil Bait Nubuwah yang besar pengaruhnya di kalangan Syiah. Beliau hidup semasa Khalifah Harun Rasyid. Banyak orang yang menyaksikan karamah beliau. Beliau pernah berkata kepada seorang yang sihat: “Bersiaplah untuk menghadapi kematianmu”. Setelah tiga hari orang tersebut diberitakan meninggal dunia.

Al Hakim meriwayatkan dari Muhammad bin Isa bin Abi HuFaib: “Aku pernah bermimpi melihat Rasulullah s.a.w. di suatu gedung yang biasa kaum Haji singgah di tempat itu ketika tiba di kota kami. Di gedung itu kulihat ada sebuah piring yang berisi buah kurma. Kulihat Rasulullah memberiku delapan belas buah kurma. Setelah dua puluh hari setibanya dari Madinah Ali Ridha singgah di tempat itu. Penduduk kota kami datang menyambutnya. Akupun datang menemui beliau. Kulihat beliau sedang duduk di tempat yang diduduki oleh Rasulullah seperti yang kulihat dalam mimpiku. Sedangkan di hadapan beliau ada sebuah piring yang berisi buah kurma sama seperti yang kulihat di dalam mimpiku. Kemudian beliau memberiku segenggam buah kurma. Ketika kuhitung jumlahnya sama berjumlah lapan belas buah. Aku berkata: “Tambahkan sedikit lagi”. Jawab beliau: “Jika Rasulullah waktu itu menambahkan pasti aku tambahkan padamu”.

Dalam kitab Al Itihaf Bi-Hubbil Asyraf disebutkan: “Waktu Khalifah Ma’mun, hendak menjadikan Ali Ridha sebagai penggantinya kelak sebahagian bawahan Khalifah Ma’mun tidak senang. Mereka takut kalau kekuasaan itu akan berpindah dari keluarga Banil Abbas kepada keluarga Bani Fatimah. Orang-orang yang tidak setuju itu ingin menunjukkan pembangkangannya pada Ali Ridha. Biasanya jika Ali Ridha hendak masuk ke dalam istana orang-orang yang berada dalam istana akan berdiri untuk memberi salam pada beliau terlebih dahulu. Kemudian mereka membukakan tabir yang memisahkan tempat bersemayamnya khalifah dengan ruangan luar.

Pada suatu hari pegawai-pegawai istana yang tidak senang pada beliau bersepakat untuk tidak berdiri menghormat beliau dan tidak akan membukakan tabir agar beliau tidak dapat masuk ke dalam majlis khalifah. Di suatu pagi ketika pegawai-pegawai istana sedang duduk tiba-tiba datanglah Ali Ridha hendak masuk ke dalam majlis khalifah seperti biasanya. Anehnya waktu Ali Ridha masuk ke ruang itu tidak seorangpun dari mereka yang tidak bangkit untuk menghormatinya dan membukakan tabir. Setelah Ali Ridha masuk ke dalam majlis khalifah mereka saling menyalahkan apa yang telah dilakukan masing-masing. Kemudian mereka bersepakat sekali lagi untuk tidak membukakan tabir jika Ali Ridha datang ke dalam istana. Keesokan harinya waktu Ali Ridha datang seperti biasanya mereka hanya memberi salam saja pada beliau tanpa membukakan tabir. Dengan izin Allah berhembusanlah angin kencang dalam istana sehingga tabir itu tersingkap dan Ali Ridha pun masuk dalam istana dengan aman. Demikian pula waktu Ali Ridha akan pulang berhembuslah angin dari arah dalam menyingkapkan tabir sehingga Ali Ridha dapat melalui dengan santai.

Melihat kejadian itu salah seorang dari mereka berkata: “Sungguh orang ini mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah dan ia selalu mendapatkan pertolongan dari Allah. Lihatlah bagaimanakah datangnya angin sekencang itu yang dapat menyingkapkan tabir ketika beliau datang dan pulang. Kerana itu bertaubatlah kamu pada Allah atas perbuatan kamu”.

Alhasan bin Musa Al Khadhim bercerita: “Ketika kami sedang berada di majlis Ali Ridha ada seorang yang bernama Ja’far bin Umar Ali Alawi melalui sedangkan pakaiannya compang-camping dan mukanya kusut. Melihat keadaannya yang sangat menyedihkan itu sebahagian kami ada yang melihatnya dengan pandangan jijik. Ali Ridha berkata: “Dalam waktu dekat orang itu akan kamu lihat dalam keadaan kaya, banyak pelayan yang mengiringkannya dan keadaannya pun akan sedap untuk dipandang”. Belum sebulan dari ucapan beliau, orang tersebut diangkat sebagai gabenor dan kedudukannya pun berubah. la jadi seorang kaya raya, jika berjalan diiringkan oleh seluruh pelayan dan pembesar-pembesar lainnya. Ketika ia berjalan kami bangun untuk rnenghormatnya dan mempersilakannya singgah”.

Musa bin Marwan berkata: “Aku pernah melihat Ali Ridha berada di masjid Madinah sedangkan khalifah Harun Rasyid berkhutbah. Beliau berkata: “Ketahuilah bahawa aku dan ia (Harun Rasyid) kelak akan dikuburkan berdampingan”.”

Hamzah bin Ja’far Al Arjani berkata: “Suatu hari kulihat Khalifah Harun Rasyid keluar dari salah satu pintu Masjidil Haram, sedangkan Ali Ridha keluar dari pintu yang lain. Beliau berkata sambil menunjukkan ucapannya itu kepada Khalifah Harun ar-Rasyid: “Wahai orang yang berjauhan tempatnya dengan aku kelak akan berdampingan dalam kubur, kelak kota Thousia (Iran) akan mendekatkan aku dengannya. Apa yang diucapkan oleh beliau ternyata benar-benar terjadi. Ketika Khalifah Harun sedang dalam suatu perjalanannya untuk berhijad beliau meninggal dekat kota Thousia. Jenazahnya dimakamkan dekat kuburan Ali Ridha di Thousiah”.

Husin bin Yasarah berkata: “Pernah Ali Ridha berkata padaku: “Kelak Abdullah bin Harun Rasyid akan membunuh saudaranya Muhammad bin Harun Rasyid”. Tanyaku pada beliau: “Apakah hal itu akan terjadi?” Jawab beliau: “Ya”. Ternyata apa yang diucapkan beliau benar-benar berlaku.”

Ali Ridha wafat di kota Thousiah (Khurasan) di akhir bulan Safar tahun 203 H.

Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali - karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa
| Labels: Alawiyyin

Read more..

Al Habib Hadi bin Abdullah Al Hadar

Kabupaten Banyuwangim, sebuah kabupaten yang terletak paling ujung timur dari propinsi Jawa Timur selain terkenal sebagai kota santri juga di kabupaten ini terdapat seorang auliya’ yang setiap tahun haulnya diperingati dengan besar-besaran setiap hari ahad pagi minggu pertama bulan Muharam. Waliyullah itu adalah Habib Hadi bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Soleh Al-Hadar. Ia Lahir pada tahun 1908 M (1325H) di Banyuwangi. Habib Hadi dari kecil telah menunjukan akhak yang terpuji.

Dari kanak-kanak ia telah menunjukan sikap-sikap yang baik. Dengan teman sepermainan tidak pernah mau mengganggu dan kalau pun diganggu, ia tidak pernah melawan.
Pada umur sembilan tahun, ibunya yang bernama Syarifah Syifa binti Mustafa Assegaff meninggal. Ia kemudian oleh ayahnya Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar dibawa ke Gathan, Hadramaut. Selama di negeri para auliya itu, Habib Hadi belajar dengan ulama-ulama setempat. Hari- hari diisinya dengan taklim dan mengaji.

Saat bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim Hadramaut menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah dengan waktu yang berbeda-beda, mulai dari lepas shalat isya sampai jelang waktu sahur. Habib Hadi tak ketinggalan ikut shalat tarawih berjamaah dari masjid yang satu ke masjid yang lainnya dari mulai lepas Isya sampai waktu jelang sahur. Kebiasaan ini membuat ayahanda Habib Hadi, Habib Abdullah bin Umar marah kepadanya.”Kamu ke sini bukan untuk beribadah. Kamu datang ke sini untuk menuntut ilmu. Jangan satu malam kamu habiskan untuk shalat tarawih.”

Padahal usianya pada waktu itu, baru 11 tahun, ayahnya meninggal. Habib Hadi kemudian tinggal bersama seorang adiknya, yakni Habib Muhammad. Saat itulah ia hidup sangat sederhana di Hadramaut, namun di tengah kesederhanaan itu, ia selalu mendahulukan adiknya. Kalau ia mendapatkan dua keping roti dan secangkir kopi tiap sehabis shalat berjamaah, dua keping roti dan secangkir kopi itu diberikan untuk adiknya dan ia lebih berpuasa. Demikian kecintaan yang luarbiasa untuk sang adik.

Habib Hadi dari kecil telah menjaga makanan yang dimakan dari sesuatu yang haram, bahkan yang diragukan (subhat). Pernah suatu ketika sang adik membawa buah-buahan, ia kemudian bertanya, ”Dari mana kamu dapat buah-buahan ini?”
Sang adik menjawab,”Saya memungut dari kebun sebelah.”
Mendengar jawaban dari sang adik, Habib Hadi marah kemudian ia memegang buah yang dibawa sang adik dan berkata, ”Kembalikan ke tempat yang kamu yang dapat.”
Sang adik pun akhirnya menuruti perintah sang kakak mengembalikan buah yang jatuh kepada sang pemilik kebun.

Demikianlah sedari kecil, Habib Hadi sangat menjaga makanan yang masuk ke perutnya.
Setelah ayahnya meninggal, Habib Hadi belajar dengan Habib Muhammad bin Hadi Assegaff di Seiwun. Habib Muhammad bin Hadi Seiwun ini adalah murid dari Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, sahibul maulid Simthud Durar. Selama di majelis Habib Muhammad ini, teman Habib Hadi selama belajar di sana adalah Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (ayahanda Habib taufik, Pasuruan).

Kalau malam, Habib Hadi bermunajat, berdzikir dan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT (qiyamul lail), sedangkan kalau siang hari ia berpuasa. Wajarlah melihat aktivitas ibadah dari Habib hadi telah terlihat sejak kecil, membuat sang guru, Habib Muhammad memberikan kedudukan yang istimewa di tengah murid-muridnya.

Dalam mengajar, Habib Muhammad selalu menyediakan tempat duduk di sampingnya dalam keadaan kosong, dan tidak pernah ada seorang pun dari murid-muridnya yang berani menempati tempat duduk yang kosong itu. Tempat duduk yang kosong itu adalah tempat duduk Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar.

Pada umur 20 tahun, Habib Hadi pulang ke Indonesia melalui pelabuhan Surabaya. Saat itu ia disambut oleh saudara-saudaranya yang saat itu sudah sukses di Surabaya, seperti Habib Ahmad (pemborong jalanan), Habib Muhamad (pedagang beras), Habib Mustafa (saudagar kopra). Tapi, Habib Hadi menolak semua sambutan yang meriah, ia menolak pakaian yang sudah dipersiapkan oleh saudara-saudaranya.

Melihat saudaranya yang sudah maju, Habib Hadi tidak terpikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia justru mampir ke tempat kenalannya yakni H. Abdul Aziz, seorang pedagang kain. Habib Hadi tiap hari berjualan sarung, kain batik di pasar. Melihat Habib Hadi jualan di pasar, saudara-saudaranya marah. Habib Hadi kemudian ditarik kerja di pelabuhan bagian menimbang kopra.

Akhirnya Habib Hadi, menurut perintah saudara-saudaranya kerja di pelabuhan. Namun, sebelum kerja di pelabuhan, ia sempat mampir ke pasar untuk membeli paesan (nisan untuk orang mati) dan selalu dibawa ke tempat kerja. Nisan yang terbuat dari kayu itu ditaruhnya di bawah timbangan dan selalu ditaburi bunga yang masih segar. “Saya kalau menimbang kopra selalu ingat nisan yang ada di bawah timbangan. Dengan mengingat nisan ini, saya selalu ingat akan mati, maka timbangannya harus pas. Karena yang saya timbang ini akan dipertanggungjawabkan, kelak di hari kiamat,” kata Habib Hadi mengomentari tingkahnya yang selalu membawa nisan saat bekerja.

Pernah ia dipindah ke bagian keuangan (kasir), suatu saat ia mengumpulkan uang yang rusak, palsu dan dikumpulkan semua. Dan akhirnya semua uang yang rusak itu dibuang ke laut. Melihat perilaku Habib Hadi, saudara-saudaranya sudah habis rasa kesalnya. Mereka marah dengan perilaku Habib Hadi.

Melihat ketidakcocokan dalam bekerja dengan saudara-saudaranya, Habib Hadi kemudian berhenti bekerja dan lebih banyak beribadah serta hadir di acara-acara haul para ulama dan habib yang tersebar di Pulau Jawa, mulai Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Habib Hadi kembali berdagang kain untuk menghidupi keluarga. Uniknya dalam berdagang, ia selalu jujur mengatakan harga yang sebenarnya dari barang yang dijualnya kepada pembelinya.”Boleh kamu kasih ongkosnya, atau lebihkan sedikit dari barang ini,” kata Habib Hadi kepada para pembelinya.

KH Chasan Abdillah salah seorang ulama ternama di Glenmoore, Banyuwangi pernah berkata kepada Habib Hadi, ”Habib, anda tidak ditipu sama orang dengan berjualan seperti itu?”
“Biar orang-orang menipu saya. Yang penting, saya tidak menipu sama orang lain,” kata Habib Hadi kepada KH Chasan Abdillah.

Habib Hadi saat Banyuwangi dikenal sangat dekat dengan Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaff (Pasuruan). Saat itu Habib Ja’far mempunyai tasbih kesayangan yang diperoleh dari Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Tasbih itu ternyata adalah milik Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi. “Siapa yang memegang tasbih ini akan membuat kenyang akan dzikrullah,” kata Habib Ja’far kepada orang-orang yang ada di majelis. Orang-orang berebut ingin mendapatkannya. Tapi Habib Ja’far bin Syaikhon mencegahnya.”Sebentar lagi orangnya akan datang.” Tak berapa lama kemudian Habib Hadi hadir di majelis, Habib Ja’far langsung bangkit dan mengalungkan tasbih kesayangannya ke leher Habib Hadi.

Saking dekatnya antara Habib Ja’far, kalau Habib Hadi datang, selalu diajaknya ke kamar dan dikunci. Sekalipun Habib Ja’far sedang ada pengajian atau tamu, Habib Hadi selalu diajaknya ke kamar khusus. Apa yang mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu.

Habib Hadi wafat pada usia 65 tahun dengan meninggalkan 8 orang anak (1 putra, 7 perempuan), pada Kamis, 4 Muharam 1393 H (8 Februari 1973). Jenazahnya kemudian dishalati dengan imam Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (Pasuruan) dan dimakamkan di komplek makam Blambangan, Lateng, Banyuwangi.

Sumber : ahlussunahwaljamaah.wordpress.com

Read more..

Al Habib Alwi bin Salim Al Idrus

Lautan Hikmah Sang Arif yang merakyat

Al ‘Allamah Al Wari’ Al Habib Alwi bin Salim bin Ahmad Al ‘Aydrus lahir di kota Malang Jawa Timur dari pasangan Habib Salim bin Ahmad dengan Hababah Fathimah. Tak heran jika kelak Hb.Alwi menjadi ulama’ besar yang syarat dengan kharisma. Disamping berkah kewara’-an kedua orang tuanya, beliau sendiri, juga karena memang ibunda beliau pernah mendapat bisyaroh (kabar gembira) di kala mengandungnya.

Sejak kecil Hb. Alwi telah menunjukan kecintaan dan kepeduliannya terhadap ilmu. Menuntut ilmu beliau geluti tanpa mengenal lelah. “Tiada Hari Tanpa Belajar”, demikianlah mungkin motto beliau semasa muda. Kapan dan di manapun beliau senantiasa belajar. Begitu urgen ilmu di mata Hb. Alwi, hingga akhir hayatpun beliau senantiasa setia merangkulnya.

Habib Alwi lebih banyak belajar kepada Al ‘Allamah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Seorang ulama terkemuka yang mendapatkan sanjungan dari salah seorang maha gurunya Al Habib Alwi bin Abdulloh bin Syihab, _”Wabilfagiihi fil fighi kal adzro’i, wa fittashowwufi wal adabi muttasi’i”. Marga bilfagih (Hb. Abdul Qodir) dalam bidang fiqih bagai Imam Adzro’i, Dan dalam ilmu tasawuf serta kesusastraan bak lautan yang tak bertepi.

Habib Alwi adalah figur yang akrab dengan akhlaqul karimah. Apabila bertemu dengan muslim, beliau senantiasa menebar salam lebih dahulu. Dengan siapapun beliau selalu berkomunikasi dengan tutur kata yang halus dan sopan, bahkan sering kali tutur katanya membuat hati yang mendengarkan menjadi tenang. Sikap yang lemah lembut dan rendah hati senantiasa menghiasi hari-harinya. Tidak berlebihan jika beliau disebut sebagai Bapak anak yatim, kasih sayang dan kepedulian kepada mereka sangat kental dengan pribadi Hb. Alwi.

Keluhuran akhlaq dan keluasan ilmunya mampu melunakkan hati semua orang, kafir sekalipun. Suatu saat ada seorang non-muslim keturunan Tionghoa bertandang di kediaman beliau guna mendiskusikan ajaran agama islam. Dengan ramah dan senang hati Hb. Alwi menemuinya dan mengajaknya berkomunikasi dengan tutur kata dan akhlaq yang luhur. Mendengarkan penjelasan dan petuah-petuahnya orang tersebut tercengang dan terkesima. Seketika ia memantapkan hati menyatakan diri memeluk agama islam.

Dalam urusan mengajar dan berdakwah Hb. Alwi senantiasa berada di barisan terdepan. Sakit, hujan ataupun sedikitnya yang hadir dalam majlis beliau, semuanya tak mengurangi sedikitpun semangat bahkan keikhlasannya dalam mengajar dan berdakwah. Suatu ketika Habib ‘Alwi mengajar di desa Gondanglegi Malang. Dalam perjalanan menuju desa tersebut hujan turun sangat lebat. Melihat kondisi demikian, salah seorang murid beliau yang menyertainya ketika itu mengusulkan agar majlis tersebut ditunda. Namun tidak demikian dengan Habib Alwi, karena beban dan tanggung jawab sebagai pengemban risalah nabawiyah, beliau tetap konsisten. Ironisnya, ketika sampai di tempat, ternyata yang hadir saat itu hanya segelintir manusia. Meskipun demikian Hb. Alwi tak patah semangat.

Bagi Hb. Alwi, apalah artinya semangat jika tanpa disertai keikhlasan. Pernah Habib Alwi diundang ceramah di wilayah Sukorejo. Beliau berangkat tidak dijemput dengan mobil mewah layaknya para muballigh lainnya. Tapi beliau hanya dijemput oleh salah seorang utusan panitia. Nanum, dengan landasan ikhlas yang tinggi dan ditopang semangat juang yang gigih, beliau berangkat ke Sukorejo hanya dengan mengendarai oplet, demi misi syiar islam.

Kesederhanaan memang tersirat dalam diri Habib Alwi. Memang untuk urusan mengajar beliau bukan tipe ulama yang perhitungan. Di mana dan kapanpun selagi tidak ada udzur syar’i. Siapapun orangnya yang meminta sampai harus naik apa, beliau bersedia hadir. Tidak jarang beliau diundang oleh orang miskin, di pelosok desa yang penuh rintangan, naik dokar sekalipun Habib Alwi menyanggupinya.

Hampir setiap sore terutama hari kamis Hb. Alwi memberikan pengajian di masjid Jami’ Malang. Takmir masjid tidak menyediakan mobil jemputan untuk Hb. Alwi. Untuk itu beliau rela pulang pergi dari rumah ke masjid dengan naik becak.

Da’wah Hb.Alwi melegenda ke segenap lapisan masyarakat. Mereka mengenal sosok Hb. Alwi sebagai ulama’ yang memiliki kepribadian yang santun dan bersahaja. Maka tak heran jika beliau memiliki pengaruh kuat yang membuahkan hasil perubahan dan peningkatan. Keberaniannya dalam menyatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil mampu menembus dinding baja ruang kerja para pejabat pemerintah. Ketika ada di antara mereka yang bertindak semau gue tanpa mengindahkan syariat agama islam, beliau tidak segan-segan menegurnya.

Demi misi dakwah, Habib Alwi sanggup merelakan segalanya. Dalam hidupnya beliau tidak ingin merepotkan siapapun. Lebih-lebih ketika berdakwah di pedesaan, beliau membawa makanan sendiri dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Hampir setiap hari, dalam pengajian yang beliau gelar di kediamannya, Hb. Alwi menjamu para santrinya. Belum lagi ketika beliau mengadakan pengajian secara mendadak, maka beliau tidak segan-segan untuk merogoh koceknya sendiri demi langgengnya dakwah islamiyah. Begitu ramah dan supelnya Hb. Alwi, sehingga tukang becak atau pengemis sekalipun tidak merasa sungkan bertamu kepada beliau. Lebih heran lagi, Hb. Alwi tidak pernah membeda-bedakan tamunya, ini pejabat, ini tukang becak dan sebagainya. Beliau menghormati semua tamunya dengan pelayanan yang proporsional. Sebagai tuan rumah beliau tidak segan-segan mengeluarkan sendiri hidangan untuk tamunya.

Suatu ketika ada seorang pengemis bertamu kepada Hb. Alwi. Kala itu beliau sedang istirahat siang sementara beberapa santrinya berjaga-jaga di serambi rumah beliau. Rupanya sang pengemis tersebut bersikeras ingin bertemu sang Habib sekalipun para santri tidak mengizinkannya. Namun akhirnya pun sang pengemis angkat kaki dari rumah Hb. Alwi membawa kekecewaan yang mendalam. Rupanya Hb.Alwi mengetahuinya. “Tadi ada tamu pengemis ya?”, tanya Hb.Alwi kepada santrinya. “Iya Bib, tapi habib sedang istirahat”, jawab salah seorang santrinya. “Kenapa tidak membangunkan saya? Iya kalau yang datang tadi pengemis betulan, kalau ternyata Nabiyulloh Khidir as?”, tegas Hb. Alwi.

Maka berkat akhlaqul karimah, sabar, ikhlas istiqomah serta berbagai mujahadah yang beliau telateni salama ini, semasa hidup Hb. Alwi sudah menerima bisyaroh dari Al Imam Syafi’i ra berupa dua jaminan dari beliau. Yang pertama di dunia dan yang kedua untuk yang kedua (akherat). Bahkan semasa hidupnya pula Hb. Alwi pernah bertemu dengan datuknya Rosululloh SAW secara yaqodzoh (terjaga/bangun) sebanyak 35 kali

Habib Alwi meninggal pada tahun 1995 M dan dimakamkan di pemakaman Kasin Malang di sebelah utara kubah maha gurunya Al ‘Arif billah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih.

Read more..

Al Habib Hasan bin Sholeh Al Bahr Al Jufri

Nasab

Nasab beliau bersambung sampai Rasulullah s.a.w: Hasan Al-Bahr bin Saleh bin Idrus bin Abu Bakar bin Hadi bin Sa’id bin Syeikhon bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi bin Abu Bakar Al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’afar As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Fatimah Az-Zahra bin Rasulillah SAW.

Tempat Kediaman

Beliau lahir di kota Kholi’ Rasyid (Houthoh) tahun 1191H. Ketika berusia 2 tahun, ayah beliau meninggal dunia. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abu Bakar Al-Jufri, di kota di Dzi Isbah.

Guru dan Muridnya

Beliau menuntut ilmu dari sejumlah ulama di zamannya, misalnya Al-Allamah Umar bin Zein bin Smith, Syeikh Abdullah bin Semair, Habib Umar bin Ahmad bin Hassan Al-Haddad dan Habib Alwi bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Syeikh fath beliau dalam (ilmu) dhohir dan batin adalah Habib UMar bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf.

Beliau memiliki murid-murid yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, timur maupun barat. Mereka menyebarluaskan ilmu-ilmu agama dan tasawuf yang telah mereka pelajari dari Habib Hasan. Pernah dikatakan bahawa tidak ada seorang alim, pelajar atau sufi pun di Hadhramaut yang tidak pernah belajar kepada beliau. Di antara murid beliau adalah Sayid Hamid bin Umar bin Muhammad bin Segaf Assegaf dan Sayid Muhsin bin Alwi bin Segaf Assegaf.

Keluasan Ilmunya

Beliau dijuluki Al-Bahr (lautan) karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Ketika mempelajari kitab Mukhtashor At-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syeikh Ali bin Umar bin Qadhi Baktsiir, beliau mengkoreksi beberapa hal yang ditulis oleh gurunya sendiri, padahal usia beliau saat itu masih di bawah 20 tahun.

Sewaktu beliau sedang menunaikan ibadah haji, mufti Zubaid, Al-Allamah Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal meminta beliau untuk menulis sebuah risalah yang menjelaskan sifat-sifat salatnya kaum muqarrabin. Permintaan itu beliau kabulkan, dan ternyata risalah itu membuat kagum para ulama dan kaum sufi di Hijaz dan kota-kota lain.

Habib Ahmad Al-Junaid bercerita bahwa ia dan Habib Hasan berkunjung ke kediaman Sayid Ahmad bin Idris, seorang yang sangat alim. Habib Ahmad Al-Junaid lalu membacakan kitab Ar-Rasyafaat, Sayid Ahmad bin Idris pun kemudian menjelaskan bait demi bait dengan mengutip berbagai ayat Quran dan Hadis Nabi SAW. Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr kemudian membacakan karyanya sendiri, Sholaatul Muqarrabin. Setelah Sholaatul Muqarrabin selesai dibacakan, Sayid Ahmad berkata, “Andaikan penulis risalah ini masih hidup, maka:

Yahiqqu an tudhraba alaihi akbaad ul-ibili
Sepatutnya perut onta dicambuk agar segera dapat menjumpainya.

“Waktu itu aku hendak memberitahu mereka, bahwa penulis risalah itu adalah orang yang baru saja membacanya. Namun, Habib Hasan mencegahku,” kata Habib Ahmad Al-Junaid.

“Mungkin penulisnya hanya sekedar menyifatkan, tidak sungguh-sungguh mengalami apa yang ditulisnya,” kata salah seorang murid Sayid Ahmad bin Idris.

“Diamlah engkau”

Al-inaa’u yarshahu bima fihi
Wadah (hanya) akan memercikkan isinya, kata Sayid Ahmad bin Idris.

Mujahadahnya

Habib Hasan selalu berpegang teguh pada sunah Nabi, dan berusaha meniti jejak para salafnya. Beliau mengamalkan berbagai salat sunah: salat sunah rawatib maupun salat sunah lainnya. MUlai dari salat khusuf dan kusuf sampai dengan salat tahiyyatul mesjid. Mulai dari salat sunnatul wudhu, dhuha 8 rakaat, awwabiin 20 rakaat, tahajjud di sebagian besar waktu malam sampai dengan salat witir 11 rakaat di akhir malam. Semua ini beliau kerjakan dengan tekun: siang maupun malam, saat berada di kota maupun ketika bepergian, saat sehat maupun sakit. Sakit tidak pernah mengendurkan semangat ibadah beliau. Apabila tiba saat ibadah, beliau seakan sembuh dari sakitnya. Namun, begitu ibadah selesai dikerjakannya, beliau tampak lemah kembali. Beliau selalu mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.

Beliau biasanya membaca setengah Al-Quran dalam salat tahajjudnya setiap malam. Kadang kla seluruh Quran beliau khatamkan dalam satu rakaat. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan puasa Dawud, baik pada waktu musim panas maupun dingin, saat berada di kota maupun saat bepergian, ketika sehat maupun sakit. Beliau sering sekali membaca surah Yasin sebanyak 40 kali dalam satu majelis, dan dalam satu atau dua rakaat. Di antara wirid beliau adalah membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 90 000 kali dalam satu rakaat.

Beliau menunaikan ibadah haji lebih dari 7 kali. Beliau sangat sering tawaf di tengah kegelapan malam sambil membaca Quran sampai waktu fajar, terkadang beliau mengkhatamkannya dalam semalaman.

Pada waktu dhuha, hari Rabu 23 Dzul Qa’dah 1273H beliau meninggal dunia di Dzi Isbah, lalu dimakamkan dekat makam ibunya, di tengah-tengah musholla yang terletak di samping rumahnya.

Sifat Rahmatnya

Berikut adalah sekelumit cerita yang menunjukkan keluhuran budi dan kasih sayang beliau pada makhluk Allah.

Cerita Pertama

Suatu hari seorang warga kampungnya melapor kepada beliau, bahwa seekor anjing telah membuat onar. Anjing itu memakan haiwan-haiwan kecil piaraan mereka. Mendengar pengaduan itu beliau berkata, “Anjing itu bertingkah demikian karena kalian menelantarkan dan tidak memberinya makan. Kemarikan anjing itu, lalu berilah makan hingga kenyang.”

Warga kampung kemudian membawa anjing itu ke rumah Habib Hasan. Mereka menempatkan anjing itu di dalam kandang dan memberinya makan siang dan malam. Habib Hasan menaruh perhatian besar pada anjing itu, dan setiap hari selalu menanyakan keadaannya kepada pembantu beliau.

Cerita Kedua

Seusai salat Jumat di sebuah mesjid di kota Syibam, tiba-tiba seekor burung yang masih kecil terjatuh ke lantai dari sarangnya di atap mesjid. Melihat anaknya jatuh, induk burung itu menjerit-jerit. Keadaan itu begitu mengharukan Habib Hasan sehingga beliau tak kuasa membendung air matanya. Dengan pipi yang basah oleh air mata, Habib Hasan meminta agar jamaah yang sedang berada di mesjid untuk keluar guna memberi kesempatan kepada si induk agar dapat dengan leluasa membawa anaknya kembali ke sarangnya.

Cerita Ketiga

Pada hari pernikahan salah seorang puterinya, sebagaimana adat di daerah itu, warga kampungnya mempersiapkan berbagai jenis makanan dan daging untuk makan malam rombongan besan. Ketika mereka sedang menanti kedatangan rombongan pengantin, Habib Hasan melongok ke luar jendela. Di bawah loteng rumahnya beliau melihat kerumunan orang.

“Siapa yang berkerumun di depan pintu,” tanya Habib Hasan penasaran.

“Mereka adalah kaum fakir yang menantikan sisa-sia makan malam,” jawab salah seorang di antara mereka.

Beliau lalu segera memerintahkan untuk mengundang dan menjamu kaum fakir miskin itu. Beliau diingatkan bahwa makanan itu dipersiapkan untuk rombongan pengantin, dan mereka tak bisa menyiapkan gantinya karena waktu yang sangat sempit. Namun beliau berkata, “Tak apa-apa, hidangkanlah makanan itu”.

Mereka tak bisa menolak permintaan Habib Hasan. Makanan yang semula dipersiapkan untuk menyambut rombongan pengantin, akhirnya diberikan kepada kaum fakir miskin.

Mutiara nasihatnya

Sesungguhnya di syurga tidak ada penyesalan, hanya saja mereka merasa malu atas kemuliaan dan kebaikan yang diberikan oleh Allah. Jika dibanding dengan nimat yang mereka terima di syurga, maka kelelahan mereka semasa di dunia tiada artinya.

Kenikmatan yang disegerakan, kebaikan yang diangan-angankan dan kehidupan yang baik hanya terdapat dalam ketaatan kepada Allah.

Jika engkau tak bisa beramal dengan anggota tubuhmu, misalnya: salat-salat sunah dan lain-lain, maka engkau masih bisa mengerjakan ketaatan lisan, seperti: dzikir, amar ma’aruf dan nahi mungkar. Dan jika engku tak bisa melakukan ketaatan lisan, maka engkau masih bisa mengerjakan ketaatan hati, misalnya: ikhlas, sabar, zuhud, redha, cinta, syukur dan lain-lain.

Sumber : Salatnya Para Wali oleh Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr Al-Jufri terbitan Putera Riyadi

Read more..

Al Habib Husain bin Muhammad Al Haddad

Maula dari Jombang

Ia dikenal sebagai orang yang memperhatikan kepentingan kaum muslimin.

Jombang dikenal sebagai tempat belajar santri-santri dari berbagai pelosok Indonesia. Di kabupaten ini paling tidak ada dua pondok pesantren yang dijadikan rujukan oleh pesantren-pesantren salaf di Indonesia, yakni Pondok Pesantren Darul Ulum (didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah) dan Pesantren Tebuireng (didirikan oleh KH.Hasjim Asy’ari.). Tak heran jika kota Jombang, menjadi rujukan kunjungan tamu-tamu baik ulama’ maupun auliya’ dari berbagai belahan dunia. Mereka berkunjung untuk bertukar ilmu dan sambil menyebarkan dakwah.

Salah satunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Haddad. Ia dilahirkan di kota Geydoon, Hadramaut, Yaman Selatan pada 1302 H. Sedari kecil ia telah dididik oleh aayah dan kakeknya, dalam lingkungan yang sarat religius, penuh ketakwaan dan kebajikan.

Kegemarannya menuntut ilmu berlanjut hingga usia remaja, di mana ia selalu menghadiri majelis-majelis ta’lim ulama-ulama. Tentu saja ulama-ulama yang ia datangi untuk menimba ilmu, terutama dari ulama-ulama yang suka beramal dan para wali yang saleh. Termasuk saat menunaikan haji dan berziarah ke makam datuknya, Nabi Muhammad SAW di Madinah, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu muka dengan ulama-ulama terkenal dan ia banyak mengambil manfaat dan keutamaan dari mereka.

Pada tahun 1329 H, ia pergi ke Indonesia untuk bertemu dengan sang ayahanda tercinta yakni Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad (Tegal). Selain itu, ia juga berguru dengan banyak ulama yang ada di tanah Jawa ini, diantaranya Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad (kakak kandungnya), Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Alattas (Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muchdor (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil), Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) dan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas (Pekalongan).

Ia selalu mengikuti majelis taklim dan mendengarkan fatwa-fatwa mereka, sehingga mereka pun sangat senang melihat, memperhatikan bahkan mencintainya.Guru yang banyak berperan membentuk karakter dan kepribadian Habib Husain adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Hubungan diantara Husain dan kakaknya memang tergolong sangat istemewa. Mereka berdua dikenal memiliki hubungan yang sangat erat, masing-masing dari mereka menampakan sifat tawadhu’ dan saling menghormati. Puncak dari ahlak dari Habib Husain adalah apabila pulang dari majelis taklim yang diasuh oleh kakaknya, ia berjalan mundur tidak membelakangi punggungnya.

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) pernah berkata,”Saya belum pernah melihat dua bersaudara seperti Alwi dan Husain. Sesungguhnya salah satu dari mereka memperhatikan lebih banyak urusan saudaranya dari pada dirinya sendiri, sehingga bila salah satu dari mereka meminta doa dari orang lain, maka dimintakan untuk saudaranya dan tidak menyebut dirinya sendiri.”

Pernah suatu hari Habib Husain berada di kota Bogor dan bermalam di rumah Habib Alwi. Saat akan tidur, ia memilih tidur di lantai bawah dan menolak tidur di atas, takut kalau-kalau kakaknya bangun dan menunaikan shalat tahajjud, di mana ia berada di atas sedangkan kakaknya sedang sujud di lantai bawah. Inilah batasan tertinggi dari adab kesopanan dan pengormatan Habib Husain terhadap kakaknya.

Habib Husain pertama kali berkunjung ke Indonesia di kota Tuban. Namun di kota Tuban, tidak lama, ia kemudian pindah lagi dan banyak menetap di kota Jombang. Kedua kota ini menjadi saksi sebagai tempat tujuan para tamu dari seluruh pelosok negeri. Ia dikenal ramah dan suka menolong pada orang lain, terutama kaum fakir miskin. Bahkan tamu yang keluar masuk, siang dan malam selalu diterima dengan senyuman muka, sambutan penuh cinta dan kasih. Ia pun selalu memberi nasehat kepada mereka, oleh karenanya para tamu yang hadir ke rumahnya sangat gembira dengan penghormatan dan nasehat yang bermanfaat.

Dalam menghadapi tamu, khususnya kaum muda dan remaja, ia selalu menasehatkan agar selalu berbakti pada kedua orang tua (birul walidaian). Ia selalu menceritakan akan kedudukan dan kebesaran yang tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Ridha Allah itu tergantung dari ridha orang tua dan murka Allah juga tergantung keduanya.”

Habib Husain menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memberikan ancaman kepada anak-anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya, seperti hadits.”Tiga macam dosa yang surga diharamkan oleh Allah SWT untuk dimasukinya yaitu orang yang selalu minumm khamer, orang yang durhaka kepada kedua orang tua, dan dayyuth (orang yang sengaja memelihara pelacur atau orang yang membiarkan isterinya melacur).

Daya pikir nya sangat luas. Ini terpancar dari kata-kata yang senantiasa terpancar penuh hikmah dan ilmu.

Habib Husain sangat menghormati tamu-tamunya. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat melayani dan menghormati tamu, menimba air untuk mengisi kamar mandi di tengah malam sebelum shalat malam, semuanya ia lakukan sendiri bahkan melarang orang lain untuk melakukan hal itu.

Ia juga sangat memperhatikan keadaan kaum muslimin dengan sungguh-sungguh. Apabila ia mendengar kabar yang menyenangkan dari mereka, ia sangat gembira. Tetapi sebaliknya, jika mendengar berita yang tidak baik dan menyusahkan, ia sangat sedih namun ia langsung mendoakanya semoga kaum muslimin dijauhkan dari bala dan bencana.

Selain itu, ia dikenal sangat memperhatikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan kemauannya untuk membantu sekolah-sekolah Islam….Perasaan gembira dan senang akan timbul bila mendengar berita akan kemajuan pendidikan agama mereka, tetapi ia akan marah dan menyesal bila mereka tidak mengindahkan dan menomorsatukan pendidikan umum(duniawiyah), yang mana nantinya mereka akan menangis darah dan menyesal selamanya jika menyaksikan putra-putri mereka jauh dari agama Islam dan bahasa Arab.

Puncak ketekunan dalam beribadah adalah istiqamah dan ikhlas. Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan yaitu bangun tengah malam untuk bertahajud dan munajat kehadhirat Allah SWT.

Kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah, atau karamah dan yang menherankan serta mengejutkan ini juga terjadi pada Habib Husain. Walaupun ia tidak suka mengatakan dan menyebutkannya. Ia memiliki sifat kasyaf(mejyingkap hati seseorang) atas izin Allah.

Pernah terjadi pada orang yang sangat dekat dengannnya. Ketika itu sahabatnya sedang menunaikan ibadah haji dan saat melaksanakan thawaf ia terjatuh. Saat terjatuh itulah, pertolongan Allah datang, dan ia mendapati dirinya didekat Habib Husain. Setelah sadar, orang tersebut mendapati Habib Husain berada disampignya dan mengatakan bahwa dialah yang telah membantu kecelakaan itu.

Amaliyah ibadahnya, diantaranya bertafakur (merenungkan segala ciptaanAllah dengan memperhatikan segala rahasia dan keajaiban yang terkandung di dalamnya). Berdzikir, dimana lisannya tidak pernah bosan dan kering akan menyebut asma Allah. Setiap detik waktunya, selalu dimanfaatkan untuk mendekatkan diri dengan ketaatan dan ibadah. Praktis, setiap orang yang dating ke Jombang akan mendapatkan banyak faedah dari majelis taklimnya.

Habib Husain sangat disukauii oleh segenap lapisan masyarakat yang umum maupun yang khusus dengan penghormatan yang sempurna. Ia sering menasehati orang-orang kaya agar membantu kaum fakir miskin dan mengingatkan akan ancaman kepada yang bakhil dan kikir. Bagi mereka yang menuruti nasehat nya, maka majulah perdagangannya, tapi sebaliknya, bagi yang bakhil dan kikir, harta benda mereka tertimpa kemusnahan, kehancuran dan kepailitan.

Habib Husain banyak mempunyai andil dalam pembangunan masjid-masjid dan madrasah diniyah diantaranya seperti masjid Araudhoh di kota Jombang dan Madrasah Islamiyah di Gresik.

Sesungguhnya bila diamati, pada hakekatnya Habib Husain terkenal dengan akhlaq, amal perbuatan serta sifat-sifat baik beliau mengisi kehidupannya antara ibadah kepada Allah dan memberi faedah kepada hamba-hamba-Nya. Memanfaatkan waktu dan umurnya serta membelanjakan harta di jalan Allah sampai akhir hayatnya.

Habib Husain wafat pada malam ahad tanggal 21 Jumadil Tsani 1376 H di kota Jombang. Masyarakayt dari seluruh pelosok dalam dan luar kota berduyun-duyun bertakziyah, mereka dalam keadaan sedih dan kerugian yang amat besar karena harus berpisah dengan seorang wali Allah.

Jenazahnya kemudian dishalatkan dan bertindak sebagai imam adalah Habib Ahmad bin Gholib Al-Hamid dan sesuai wasiatnya, jasadnya kemudian dibawa ke kota Tegal,pada hari kedua untuk dimakamkan di dekat ayahnya. Bertindak sebagai imam shalat jenazah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi.

Sumber : ahlussunahwaljamaah.wordpress.com

Read more..

Al Habib Hasan Bin Yahya (Syekh Kramat Jati)

Alur Sungai Berpindah Arah dengan Karomahnya

Habib Hasan bin Thoha bin Yahya yang lebih terkenal dengan nama Syekh Kramat Jati, lahir di kota Inat (Hadramaut), dari pasangan Habib Thoha bin Yahya dengan Syarifah Aisyah binti Abdullah Al-Idrus. Beliau mendapat pendidikan langsung dari kedua orang tuanya sampai hafal Al Qur’an sebelum usia tujuh tahun. Kecerdasan dan kejernihan hati yang dimiliki, menjadikannya sebelum menginjak dewasa, telah banyak hafal kitab-kitab hadist, fiqh dan lain sebagainya.

Disamping belajar ilmu syariat, Habib Hasan juga belajar ilmu Thoriqoh dan hakikat kepada para ulama’ dan Auliya’ waktu itu. Diantara guru beliau adalah Habib Umar bin Smith seorang wali Qutub pada zaman itu, Quthbil Ghouts Al Habib Alwi bin Abdullah Bafaqih dan masih banyak guru yang lain. Habib Hasan selalu mendapat ijazah dari setiap ilmu yang di dapatinya baik ijazah khusus maupun umum. Ilmu yang beliau miliki baik syariat, Thoriqoh maupun hakikat sangat luas bagaikan lautan sehingga di kalangan kaum khos (khusus) maupun awam dakwah beliau bisa diterima dengan mudah. Maka tak heran bila fatwa-fatwa beliau banyak didengar oleh pembesar kerajaan waktu itu.

Pada waktu muda, setelah mendapat ijin dari gurunya untuk berdakwah dan mengajar, beliau masuk dulu ke Afrika di Tonja, Maroko dan sekitarnya, kemudian ke daerah Habsyah, Somalia terus ke India dan Penang Malaysia untuk menemui ayahnya.

Setelah tinggal beberapa waktu di Penang, beliau mendapat ijin dari ayahnya untuk ke Indonesia guna meneruskan dakwahnya. Beliau pertama kali masuk ke Palembang kemudian ke Banten. Pada saat tinggal di Banten, beliau diangkat oleh Sultan Rofiudin, atau Sultan Banten yang terakhir waktu itu menjadi Mufti Besar. Di Banten beliau bukan hanya mengajar dan berdakwah, tetapi juga bersama-sama dengan pejuang Banten dan Cirebon mengusir penjajah Belanda. Walaupun Sultan Rofi’udin telah ditangkap dan dibuang ke Surabaya oleh Belanda, tetapi Habib Hasan yang telah menyatukan kekuatan pasukan Banten dan Pasukan Cirebon tetap gigih mengadakan perlawanan.

Setelah itu beliau meneruskan dakwahnya lagi ke Pekalongan-Jawa Tengah. Di Pekalongan beliau mendirikan Pesantren dan Masjid di desa Keputran dan beliau tinggal di desa Ngledok. Pondok Pesantren itu terletak di pinggir sungai, dulu arah sungai mengalir dari arah selatan Kuripan mengalir ke tengah kota menikung sebelum tutupan Kereta Api. Tetapi dengan Karomah yang dimiliki Habib Hasan, aliran sungai itu dipindah ke barat yang keberadaanya seperti sampai sekarang.

Pengaruh Habib Hasan mulai dari Banten sampai Semarang memang sangat luar biasa, tidak mengherankan bila Belanda selalu mengincar dan mengawasinya. Dan pada tahun 1206 H/1785 M terjadilah sebuah pertempuran sengit di Pekalongan. Dengan kegigihan dan semangat yang dimiliki Habib Hasan dengan santri dan pasukannya, Belanda mengalami kewalahan. Tetapi sebelum meletusnya Perang Padri Pesantren Habib Hasan sempat dibumi hanguskan oleh Belanda.

Akhirnya Habib Hasan bersama pasukan dan santrinya mengungsi ke Kaliwungu, tinggal disuatu daerah yang sekarang di kenal dengan desa Kramat. Atas perjuangan, kearifan, serta keluasan ilmu yang terdengar oleh Sultan Hamengkubuwono ke II membuatnya menjadi kagum kepada Habib Hasan.

Karena kekaguman tersebut akhirnya Habib Hasan diangkat menjadi menantu Sultan Hamengkubuwono ke II dan daerah yang ditempati mendapat perlindungannya.

Di Kaliwungu beliau tinggal bersama sahabatnya bernama Kyai Asy’ari seorang ulama besar yang menjadi cikal bakal pendiri Pesantren di wilayah Kaliwungu (Kendal ), guna bahu membahu mensyiarkan Islam. Masa tua hingga wafatnya Habib Hasan tinggal di Semarang tepatnya di daerah Perdikan atau Jomblang yang merupakan pemberian dari Sultan HB II.

Thoriqoh yang dipegang oleh Habib Hasan adalah Thoriqoh Saadatul Alawiyyin (Alawiyyah). itulah yang diterapkan untuk mendidik keluarga dan anak muridnya, seperti membaca aurod Wirdul Latif, dan istiqhfar menjelang Maghrib. Setelah berjamaah maghrib dilanjutkan sholat sunah Rowatib, tadarus Al qur’an, membaca Rotib dari Rotibul Hadad, Rotibul Athos, Rotibul Idrus dan wirid Sadatil Bin Yahya serta Rotibnya. Terus berjamaah sholat Isya’ selanjutnya membaca aurad dan makan berjama’ah.

Diantara kebiasaan beliau yang tidak pernah ditinggalkan adalah berziarah kepada para auliya’ atau orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. (Ziaratul Ulama wal auliya ahyaan wa amwatan )

Rumah beliau terbuka 24 jam non stop dan dijadikan tumpuan umat untuk memecahkan segala permasalahan yang mereka hadapi. Semasa beliau berdakwah dalam rangka meningkatkan umat dalam ketaqwan dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, pertama sangat menekankan pentingnya cinta kepada Baginda nabi Muhammmad Saw. beserta keluarganya yang dijadikan pintu kecintaan kepada Allah Swt. Kedua kecintaan kepada kedua orang tua dan guru, yang menjadi sebab untuk mengerti cara taqorub, taqwa dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Habib Hasan adalah seorang yang lemah lembut dan berakhlak mulia tetapi sangat keras dalam berpegang teguh kepada Syariatilah dan Sunah Rasul. Beliau tidak pernah mendahulukan kepentingan pribadinya.

Banyak amal sirri (rahasia) yang dilakukan oleh beliau setiap malamnya. Sehabis Qiyamull Lail, Habib Hasan berkeliling membagikan beras, jagung dan juga uang kerumah-rumah Fuqor’o wal masakin, anak-anak Yatim dan janda-janda tua. Beliau sangat menghargai generasi muda dan menghormati orang yang lebih dituakan.

Pada waktu hidup, beliau dikenal sebagai seorang yang ahli menghentikan segala perpecahan dan fitnah antar golongan dan suku. Sehingga cara adu domba yang dilakukan pihak penjajah tidak mampu menembusnya. Di samping sebagai ulama’ besar juga menguasai beberapa bahasa dengan fasih dan benar.

Habib Hasan wafat di Semarang dan dimakamkan di depan pengimaman Masjid Al Hidayah Taman duku Lamper Kidul Semarang. Hingga saat ini, banyak peziarah yang yang datang berziarah, berdoa dan bertawassul dimakamnya. Rodliyallahu ‘anhu wanafa’ana bibarokaatihi waanwarihi wa’uluumihi fiddiini waddunya wal aakhiroh..

Sumber : www.almihrab.com

Read more..

Khalifah Utsman Tidak Nepotis


Sahabat Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga dari Khulafaur Rasyidin pada waktu ia berumur 70 tahun. Dengan resminya Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah, ini berarti suatu kemenangan Utsman (Bani Umayyah) atas Ali (Bani Hasyim). Ini berarti pula bahwa keinginan Ali untuk menjadi khalifah yang ia nyatakan sendiri pada waktu Nabi saw wafat, belum juga menjadi kenyataan. Ada dua faktor yang mendasari penyerahan jabatan khalifah kepada Utsman, yaitu:
1.   Lebih besar kemungkinannya untuk menarik kembali jabatan khalifah nanti dari Bani Umayyah dari pada Bani Hasyim.
2.   Sebagian terbesar kaum muslimin tidak ingin menyerahkan jabatan khalifah kepada Ali karena mereka berpendapat bahwa Ali akan melanjutkan pola dan cara pemerintahan Umar ibnul Khattab yang radikal, keras dan disiplin. Mereka memilih Utsman karena dipandang lunak, pemurah dan toleran.

Awal pemerintahan Utsman diwarnai dengan suasana yang kurang kondusif. Masyarakat terpecah menjadi dua kelompok, pendukung Ali yang kurang mendukung kepemimpinan Usman dan pendukung Utsman yang mendukung kepemimpinannya. Mereka mendukung Utsman bukan karena memberi penghargaan kepadanya, melainkan karena ingin menyalurkan kepentingan-kepentingan perseorangan. Utsman berasal dari Bani Umayyah, banyak dari keluarga ini yang berkedudukan tinggi dalam kehidupan Bangsa Arab sebelum dan sesudah Islam.
Pergantian Umar oleh Utsman dapat diartikan pergantian ketegasan dan kewibawaan dengan kelonggaran, kelunakan dan sikap ragu-ragu. Akibatnya banyak kaum muslimin yang meninggalkan Utsman, yang berarti hilangnya kawan-kawan dan orang-orang tempat ia menumpahkan kepercayaan, kecuali kaum kerabatnya. Kesetiaan para pejabat kepada Utsman banyak berkurang, sehingga sedikit sekali orang yang dapat dijamin kesetiaannya, kecuali dari kerabatnya sendiri. Oleh karena itu, banyak pejabat yang dipecat dan diganti oleh sanak kerabatnya. Pada saat itulah oleh lawan-lawan politiknya, menuduhnya melakukan nepotisme (system family).
Dalam manajemen pemerintahannya, Utsman memang menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Alharits ibn Alhakam, saudara sepupu Utsman, putera dari Alhkam ibn Ash, ditunjuk mengepalaiurusan pasar Madinah dan lantas bertindak memungut sepersepuluh (10%) dari setiap apapun yang terjual dan menumpuk hasil pemungutan itu untuk dirinya
  2. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
  3. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
  4. Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’ad ibn ‘Ash. Sa’ad sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
  5. Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
  6. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
  7. Khalifah Utsman dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
  8. Khalifah Utsman juga dituduh mengeluarkan uang dari Baitul Mal sejumlah 100.000 Dirham dan menganugerahkannya kepada pamannya Alhakam ibn Ash.Begitu juga saat Khalifah Utsman menyerahkan uang sejumlah 300.000 Dirham kepada Abdullah ibn Khalid, yang merupakan keponakan Utsman.
Banyak diantara saudara Khalifah Utsman tersebut yang kehidupannya mempunyai cacat pada masa lalunnya. Seperti Walid bin Uqbah, sejarah hidupnya punya cacat pada masa Rasulullah SAW. Begitu  juga  dengan  Abdullah  ibn Saad ibn Abu Sarah, yang pada masa Nabi
Muhammad pernah murtad dan melontarkan caci maki terhadap Nabi Muhammad dan termasuk seorang di antara yang mesti dijatuhi hukuman mati pada mas penaklukan Mekkah tapi kemudian diampuni kembali atas permohonan Utsman ibn Affan.
.
PEMERINTAHAN UTSMAN TIDAK NEPOTIS

Perluasan Islam pada masa Khalifah Utsman  bisa dikatakan meliputi semua daerah yang telah dicapai balatentara Islam di masa Khalifah Umar. Perluasan ini pada masa Utsman telah bertambah dengan perluasan ke laut. Kaum Muslimin telah memiliki angkatan laut.
Di masa Utsman, negeri-negeri Barqah, Tripoli Barat dan bagian selatan negeri Ngubah telah masuk dalam wilayah Negara Islam.Kemudian negeri-negeri Armenia dan beberapa bagian Thabaristan, bahkan kemajuan tentara Islam telah melampaui Sungai Jihun (Amu Daria). Jadi daerah “Mawaraan Nahri” (negeri-negeri seberang Sungai Jihun) telah masuk wilayah Negara Islam. Negeri-negeri Baikh (Baktria) Harah, Kabul dan Ghaznah di Turkistan telah diduduki kaum Muslimin. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan. Dengan menggunakan angkatan laut yang dipimpin oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan tahun 28 H, Pulau Cyprus dapat pula dimasukkan ke dalam wilayah Islam.

Menurut Muhibbin al Thabari di dalam karyanya, Riyadh Al-Nadharat fi Manaqib Al-Asyarat (Taman Semerbak tentang Keistimewaan 10 Tokoh) yang dikuti oleh Yoesoef Sou’yb dalam bukunya Sejarah Daulah Khulafaurrasyidin melakukan tangkisan atas satu persatu tuduhan itu sebagai berikut:
Tentang pemberhentian dan pengangkatan seseorang pejabat wilayah maupun jabatan-jabatan lainnya adalah hak dan wewenang setiap Khalif dan tidak ada ketentuan di dalam syari’at Islam bahwa tidak boleh mengangkat keluarga sendiri.
Tentang pengangkatan pejabat-pejabat daerah yang sejarah hidupnya mempunyai cacat pada masa Nabi Muhammad, maka sepanjang kenyataan bahwa mereka itu telah bertaubat kembali pada masa Nabi itu, dan bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar dan Pada masa Khalifah Umar ibn Khattab telah memperlihatkan jasanya pada berbagai medan pertermpuran bagi kepentingan Islam, baik menghadapi kaum Riddat maupun menghadapi imperium Roma dan imperium Parsi. Lantas apakah tidak layak, bahwa mereka itu diberi kesempatan untuk memperlihatkan jasa sendiri dibawah pimpinan sendiri.
Tentang Alharits ibn Alhakam diangkat mengepalai urusan pasar di Madinah dan melakukan pemungutan 10% dari setiap apapun yang terjual, maka hal itu memang suatu kenyataan. Sewaktu hal itu disampaikan kepada Khalifah Utsman, maka sepanjang kenyataan, Utsman memecat Alharits dari jabatannya itu. Kenyataan ini tidak disebut-sebut di dalam desas desus yang disebarluaskan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat publik. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab, yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.

Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari  meletakkan  jabatan.   Oleh  rakyat  Basyrah,  Abu  Musa  dianggap  terlalu  hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun  pilihan  rakyat   tersebut   justru   dianggap   gagal   menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui  penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut.

Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan   kepada   khalifah.   Ustman   Bin   Affan   kemudian   mengangkat  Sa’id  Bin  ‘Ash,
kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan   sepupunya   tersebut.  Maka   kemudian   Sa’ad   digantikan    kedudukannya   oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.

Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan. Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negatif.

Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai   dengan   koridor  yang   seharusnya  dan  diindikasikan   tidak ditemukan penyelewengan  apa  pun.   Al  Khumus   yang   dimaksud   berasal   dari   rampasan   perang   di   Afrika    Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah Bin sa’ad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal. Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Marwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya. Belum lagi jika harus mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham   dari   Baitul  Mal  kepada  Al  Harits  Bin  Al  Hakkam  dan  Marwan  Bin  Al  Hakkam.
Desas – desus   tersebut   pada  dasarnya  merupakan  fitnah  belaka untuk menyudutkan Utsman. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman  mengawinkan seorang puteranya dengan puteri  Al Harits Bin Al Hakkam  dengan menyerahkan   100.000   dirham    yang    berasal    dari   harta    pribadinya    sebagai    bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.
Di samping itu, apakah benar Utsman tidak mengangkat orang-orang lain di luar Bani Umayyah pada jabatan-jabatan penting? Nyatanya Utsman juga mengangkat orang-orang lain di luar Bani Umayyah, misalnya Zaid ibn Tsabit menjadi kepala Baitul Mal.
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”

Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”

Secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas. Lantas mengapa kita harus mempercayai isu nepotisme tersebut?




DAFTAR PUSTAKA

 
Ismail, Faisal. 1984. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Bina Usaha
Pokja Akademik, 2005. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga
Syalabi, Ahmad. Sejarah & Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru
Sou’yb, Yoesoef. 1979. Sejarah Daulat Khulafaurrasyidin. Jakarta: Bulan Bintang


Read more..

Arsitektur Bani Umayyah


MASJID AGUNG DAMASKUS (SIRIA)

Damaskus sebuah kota terletak di tepian sungai Barada. Sejak tahun 64 SM dikuasai oleh Roma, pemerintah dan penduduknya memeluk agama Kristen. Pada tahun 636 M kekuasaan beralih ke tangan Arab yang muslin di bawah Muawiyah pendiri Dinasti Umayyah (661-750), menjadikan Damaskus pusat pemerintahan. Sejarah panjang kota Damaskus dengan berbagai pemerintahan berbeda agama dan budaya membuat banyak peninggalan arsitektur percampuran dari unsure-unsur gereja, kuil dan masjid. Gereja st. John  berasal dari sebuah kuil Romawi, dikelilingi tembok dirombak pada jaman Kristen. Kemudian al-Walid (705-15) mengambil alih dan menjadikannya masjid, hingga sekarang terkenal  dengan nama masjid Agung Damaskus.
Tembok keliling dirombak sehingga terbentuk pola Hypostyle yaitu berupa sebuah sahn yaitu halaman dalam berbentuk segi empat dikelilingi oleh bagian bangunan beratap. Sisi terpanjang sekitar 150 M, tegal lurus sumbu arah kiblat, sisi terpendeknya sekitar 95 M berimpit dengan arah kiblat. Luas masjid sekitar 14.250 M2 , denga bentuk denah tersebut, susunan jamaah dalam bersembahyang, melebar kea rah kiblat. Konstruksi, bentuk dan ornament-ornamen bagian depan sangat jelas mendapat pengaruh arsitektur Romawi.
Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 58

MASJID AGUNG DI KUFA (IRAK)

Tercatat iyad ibn Abih, salah seorang gubernur dari pemerintahan Umayyah, masjid direnovasi dan perluas dengan ruang-ruang beratap datar disangga oleh kolom-kolom batu. Menurut Tabari (838-923) seorang sejarawan dan teolog, penentuan luas masjid dengan cara memerintahkan seseorang untuk melempar tombak ke empat arah mata angin, yang diarah kiblat (selatan) kemudian ditempatkan dinding kiblat, dengan cara ini ternyata dinding dan lajur kolom-kolom tepat kea rah kiblat.
Denah majid Kufa, berpola hypostyle seperti masjid Nabi. Di tengah terdapat halaman dalam atau sering disebut sahn atau zulla, dikelilingi oleh riwaq, haram atau ruang sembahyang yang utama. Selain dinding luar yang sangat tebal, di dalam tidak ada dinding. Denah terbentuk oleh dinding keliling tebal ini, hamper bujur sangkar, panjang masing-masing dinding sisi tidak banyak berbeda, lebih kurang 125 M. selain merenovasi Masjid agung, Ziyad ibn abih pada waktu bersamaan juga membangun istana, berfungsi selain sebagai tempat tinggal juga menjadi tempat admnistrasi pemerintahan. Bangunan sejenis ini kemudian disebut dar al-Imara, yang artinya rumah gubernur. Istana menempel dengan masjid, sebagian dinding utara istana, menjadi satu dengan dinding selatan masjid. Konon hal ini agar gubernur atau khalifah dapat masuk ke masjid tanpa melalui jamaah lainnya.
Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.56-57


MASJID AGUNG KORDOBA (SPANYOL)

Masjid Agung Kordoba mula pertama dibangun oleh abdur Rahman I (756-788) pendiri dinasti Umayyah di Spanyol, melengkapi kota selain sebagai pusat pemerintahan juga pusat kebudayaan muslim. Masjid Agung Kordoba merupakan bentuk pengulangan arsitektur masjid Agung Damaskus. Membangun masjid pada lokasi dan bangunan peninggalan Kristen seperti masjid agung Damaskus. Pembangunan masjid dimulai pada 786 dan 787 di tepian sungai Guadalquivir.Denah masjid agung Kordoba juga memakai bentuk arsitektur klasik hypostyle. Mula pertama pada masa Abdur Rahman I, bentuknya segi empat panjang melebar, sisi panjang tidak kurang dari 80 M tegal lurus dengan kiblat, sisi pendek sekitar 40 M, terdiri dari 12 deretan kolom dan sebelas lajur.
Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.221


KUBAH BATU KARANG

Abul Malik peguasa V (685-705) salah seorang pemimpin terkuat dari Dinasti Umayyah mempunyai perhatian besar pada Jerussalem. Dia membangun Kubah Batu (dome of the rock atau qubat al saka)di Jerussalem, higga saat ini menjadi salah satu monumen Islam terbesar. Kubah Batu karang terletak di atas buki karang dariGunung Moriah dibangun antara tahun 687-692. Gunung Moriah diidentifikasikan sebagai tempat Nabi Ibrahimakan mengorbankan putranya Nabi Ismail untuk dipersembahkan  kepada Allah kemudia dihentikan oleh malaikat.
Kubah Batu karang menjadi tempat suci ketiga dari Islam setelah mekah dan madinah, merupakan salah satu monumen Islam tertua di dunia. Puncak bukit Moriah dimana kubah batu karang ini berdiri dipercaya oleh umat islam sebagai tempat Isra’ Miraj Nabi Muhammad SAW.


ISTANA ALJAFERIA DI SARAGOSA (1046-1081)

Sejak abad VIII-XII Saragosa sebuah kota pusat kebudayaab muslim, sebelum jatuh ke tangan Alfonso VI dari Leon pada 1085, saragosa di bawah Dhu Nunid, amir Muslim. Tidak banyak peninggalan muslim di Saragosa. Di antara yang sedikit itu ada bekas dinding kota dan sebagian dari istana di dalam sebuah benteng didirikan dalam periode Muluk at-tawa antara 1046-1081, disebut Aljaferia. Aljaferia diambil dari nama pendirinya Abu Ja’far Ahmadsalah satu dari “raja kecil” atau amir.. Bentuknya segi empat  tidak teratur, sisi saling berhadapan  sedikit tidak sejajar. Dinding keliling kombinasi batu dan bata, di dalamnya terdapat sebuah masjid diberi nama al-muqtadir dari bata.
Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.223


ISTANA DAN BENTENG AL-HAMBRA DI GRANADA (PERIODE ABAD XIII-XIV)

Granada terletak di pegunungan dekat sierra Nevada di selatan barat Spanyol, terkenal sebagai ibu kota pemerintahan muslim terakhir. Alhmabra sebuah istana dalam benteng, merupakan salah satu peninggalan muslim di Spanyol terindah. Kompleks istana Alhambra dibangun dibangun di atas dataran tinggi Sabika berketinggian antara 740-220 mdpl. Alhambra dibangun oleh Muhammad I mulai 1238, dengan membangun saluran air dari sungai Darro untuk memsok air banyak dipakai terutama kolam dan air mancur dalam kompleks istana. Dinding keliling dibangun oleh anaknya Muammad II antara 1273 dan 1303. Pekerjaan selanjutnya terlihat jelas dalam prasasti oleh Yusuf I pada 1333 yang memperluas kompleks, termasuk menghias dinding. Di antara penguasa Muslim bermukim di Granada membangun dan mengembangkan Alhambra terpenting adalah Muhammad V yang mendirikan bagian paling indah dari Istana, dinamakan Taman Singa (Court of Lion)
Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.225


Pembangunan Kota
Aspek-aspek pembangunan fisik sangat mendapat perhatian pada mas Bani Umayyah. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan naurah (Spanyol: Noria). Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.
Pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan taman-taman. Diantara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota az-Zahra, Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun, masjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.

a. Kota Damaskus
Kota Damaskus sebelum ditaklukkan bangsa arab adalah sebagai ibu kota pemerintahan kolonial Romawi. Kemudia Damaskus menjadi pusat pemerintahan Islam sejak masa Kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Pada masa itu damaskus menjadi kota paling besar dan paling megah diwilayah pemerintahan Islam. Kota Damaskus memiliki delapan pintu gerbang yang di hiasi dengan menara tinggi, sehingga yag hendak menuju kesana sudah dapat melihatnya dari kejauhan. Pada Masa Umayah kota ini makin di percantik dengan istana Al Khadhra’, dinamai demikian karena warna ukiran dan catnya yang hijau. Ketika Al Walid menjadi Khalifah, Damaskus semakin dipercantik dengan gedung-gedung umum yang didirika disekitarnya, sehingga tindakan Al Walid ini telah menjadi buah bibir masyaraka luas.
Kota Damaskus banyak dialiri saluran air, seperti aliran air dari sungai Euphrat dengan sistem pengairan yang dirancang sedemikian rinci dimana kebanyakan air mancur yang ada di Damaskus merupakan hasil kreasi khusus dari sistem masa itu.

b. Kota Qairawan
Pembangunan kota ini dilatar belakangi oleh pengangkatan Uqbah bin Nafi’ Al Fihri sebagai gubernur Afrika pada Tahun 48 H oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Kemudian Uqbah menyeru agar orang-orang bar-bar yang telah masuk islam supaya menjadi anggota pasukan tentara yang diutus oleh Muawiyah. Kemudia Uqbah membangun sebuah kota perlindungan bagi pasukan tentara kaum muslimin dan harta kekayaannya dari serangan musuh, yakni dari penduduk setempat. Kemudian para tentara memilih Qairawan mengingat letaknya yang jauh dari pantai sehingga kum muslimin akan merasa aman dari serangan tentara Romawi. Selanjutnya Uqbah membuat master plan untuk gedung pemerintahan disana dan kaum muslimin membangun rumah masing-masing disekitarnya, dan mereka juga tidak ketinggalan membangun Masjid Jami. Kota Qairawan dilindungi oleh benteng yang terbuat dari tanah liat. Benteng ini dibuat oleh panglima Abbasi, Muhammad bin Al Asy’ats Al Khuza’i pada tahu 144 H.

c. Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Spanyol Islam itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsyik. Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova. Menurut ibn al-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 Km.

d. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya. Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana az-Zahra, istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain.

KALIGRAFI
Sejarah kaligrafi pada masa Umayyah tidak memiliki dokumentasi yang lengkap karena beberapa khalifah Abbasiyah yang menggantikannya dengan menghancurleburkannya. Namun ada seorang Arab yang telah membuat catatan  terbesar sepanjang peride pertumbuhan kaligrafi pada masa tersebut. Ia adalah Qutbah Al Muharrir, kaligrafi umayyah pertama yang paling lama bertahan dengan kecakapan luar biasa. Qutbah punya nama terhormat dalam banyak literature Arab, karena berhasil mewariskan 4 jenis kaligrafi penting, yaitu Thumar, Jalil, Nishf, dan Tsuluts.. Dia juga dikenal menulis sejarah dan bunga rampai Arab dan sangat masyhur terutama karena menghias miharab Masjid Nabawi dengan beragam ayat Al Qur’an yang ditulis dengan fan Jalil yang indah.
Selain Qutbah, para kaligrafer kenamaan lainnya adlah Khalid ibn Al Hayyaj, Khasynam dan Malik ibn Katsir. Khalid ibn Hayyaj sangat terkenal sebagai kaligrafer resmi Khalifah Al Walid ibn Abdil Malik yang telah menulis banyak mushaf Al Qur’an berukuran besar dengan fan Thumar dan Jalil.
Khalifah Abdul Malik ibn Marwan adalah tokoh utama yang mula-mula mencanangkan “Dekrit Arabisasi” di segala bidang. Ia memerintahkan pemberlakuan penggunaan kaligrafi Arab untuk kantor-kantor dan segenap pemakaian alat tulis Negara.
Abdul Malik digantikan oleh putranya Al Walid yang dianggap sebagai “bapak pelindung dan Pembina” seni kaligrafi yang mula-mula dalam sejarah Islam. Minatnya sangat tinggi dalam memperkenalkan khat Jalil dan Thumar pada penulisan mushaf-mushaf Al Qur’an.
Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), hlm. 78-80
Read more..
VISITS
free counter

RENUNGKAN

Andaikan hidupmu kau gunakan hanya untuk menghiasi dan mendandani RAGAmu saja, sedangkan kau tak menghiasi HATImu dengan AKHLAK, maka hakikatnya hidupmu hanya untuk memberi makan ulat dan cacing yang akan memangsamu kelak di LIANG LAHAT…….Tausiyah AL-Habib Umar bin Hafidz

harunyahya.tv

harunyahya.tv
Samudra kedahsyatan rahasia penciptaan Allah Ta'ala, oleh HARUN YAHYA setetes dari samudra rahasia penciptaan Allah terungkap dalam video dokumenter.
.

Kemanakah perubahan Bumi tercinta kita ini, ke arah yang lebih indahkah untuk anak cucu kita kelak, ataukah sebaliknya. KITALAH YANG MENENTUKAN SAAT INI

Hijaukan bumi kita untuk keteduhan dan keindahan alam hidup anak cucu kita kelak

News